LuckyDelapan News
Komodo dilombakan sebagai salah satu keajaiban dunia. Benarkah Indonesia tertipu?
SABTU, 5 NOVEMBER 2011, 12:28 WIB
Elin Yunita Kristanti, Ismoko Widjaya, Nur Eka Sukmawati
VIVAnews – Ada yang menganggapnya kerabat dinosaurus dari Timur. Atau naga raksasa menyeramkan. Bahkan, legenda setempat meyakini, dia adalah keturunan Ora--saudara kembar manusia dari rahim Putri Naga yang menikah dengan Empu Najo.
Para ilmuwan berlomba menguak misteri hewan bernama latin Varanus komodoensis itu. Dia sejenis kadal raksasa, dengan nama komodo.
Kawanan hewan langka itu melata di sekitar Taman Nasional Komodo, di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Pulau itu seperti gugus kehijauan mengapung di laut sunyi. Dengan perahu bermotor, dia bisa dijangkau dalam tempo 1,5 jam dari pelabuhan di daratan terdekat, Labuan Bajo.
Sejak diperkenalkan oleh Belanda kepada dunia pada 1912, komodo nyaris terlupakan. Tapi sepanjang dua pekan lalu, binatang itu menjadi topik panas. Dari Pulau Komodo yang jauh, debat soal Komodo menyeret sejumlah figur politik nasional. Itu semua gara-gara Komodo diikutkan lomba tujuh keajaiban dunia, oleh satu lembaga New7Wonders of Nature, yang berbasis di Swiss.
Adalah Jusuf Kalla yang merasa dikecilkan langkahnya. Sebagai duta kampanye, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia itu giat berpromosi agar komodo lolos jadi juara di ajang internasional. Tapi, upayanya dicegat oleh kampanye lain, yang meragukan kredibilitas lembaga New7Wonders.
Itu sebabnya, pada Jumat 4 November 2011, di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI), Kalla menggelar jumpa pers.
Di ruang rapat itu, dia duduk tenang. Di belakangnya, ada latar poster kampanye komodo, bersanding lambang palang merah, organisasi yang dia pimpin. Kalla menghadap ke satu layar besar, yang terhubung dengan Direktur New7Wonders, Jean-Paul de la Fuente, yang saat itu berada di Cape Town, Afrika Selatan. Di sebelahnya, duduk Ketua Pendukung Pemenangan Komodo, Emmy Hafild. Mereka mengadakan konferensi jarak jauh.
“Ini sebenarnya capek yang tidak perlu,” ujar Kalla.
Para ilmuwan berlomba menguak misteri hewan bernama latin Varanus komodoensis itu. Dia sejenis kadal raksasa, dengan nama komodo.
Kawanan hewan langka itu melata di sekitar Taman Nasional Komodo, di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Pulau itu seperti gugus kehijauan mengapung di laut sunyi. Dengan perahu bermotor, dia bisa dijangkau dalam tempo 1,5 jam dari pelabuhan di daratan terdekat, Labuan Bajo.
Sejak diperkenalkan oleh Belanda kepada dunia pada 1912, komodo nyaris terlupakan. Tapi sepanjang dua pekan lalu, binatang itu menjadi topik panas. Dari Pulau Komodo yang jauh, debat soal Komodo menyeret sejumlah figur politik nasional. Itu semua gara-gara Komodo diikutkan lomba tujuh keajaiban dunia, oleh satu lembaga New7Wonders of Nature, yang berbasis di Swiss.
Adalah Jusuf Kalla yang merasa dikecilkan langkahnya. Sebagai duta kampanye, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia itu giat berpromosi agar komodo lolos jadi juara di ajang internasional. Tapi, upayanya dicegat oleh kampanye lain, yang meragukan kredibilitas lembaga New7Wonders.
Itu sebabnya, pada Jumat 4 November 2011, di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI), Kalla menggelar jumpa pers.
Di ruang rapat itu, dia duduk tenang. Di belakangnya, ada latar poster kampanye komodo, bersanding lambang palang merah, organisasi yang dia pimpin. Kalla menghadap ke satu layar besar, yang terhubung dengan Direktur New7Wonders, Jean-Paul de la Fuente, yang saat itu berada di Cape Town, Afrika Selatan. Di sebelahnya, duduk Ketua Pendukung Pemenangan Komodo, Emmy Hafild. Mereka mengadakan konferensi jarak jauh.
“Ini sebenarnya capek yang tidak perlu,” ujar Kalla.
Lomba itu akan berpuncak pada 11-11-11, dan Kalla seperti mengejar waktu agar komodo bisa meraih dukungan besar. Dia termasuk mengimbau dukungan SMS Rp1 untuk mendukung komodo.
Di tengah upayanya, sejumlah tuduhan dialamatkan ke New7Wonders. Lembaga itu disangka abal-abal, sarat penipuan, dan hanya berorientasi profit. Bahkan SMS dukungan itu pun dipersoalkan. “Capek saja, kok soal-soal begini, serupiah saja diributin,” dia menambahkan.
Ihwal lembaga itu abal-abal dikemukakan oleh Duta Besar RI untuk Swiss, Djoko Susilo. Sejak Maret 2010 lalu, saat ia baru menjabat, politisi yang bekas wartawan itu mencium gelagat tak beres soal New7Wonders.
Djoko lalu beraksi: dia menyelidiki alamat surat New7Wonders di Hoeschgasse 8, P.O. Box 1212, 8034 Zurich. Tapi, ternyata tak valid. Yang paling mendekati adalah: Hoeschgasse 8, P.O. Box 1212, 8008 Zurich. Di sana tak ada kantor, tapi sebuah museum. Nyanggongbeberapa hari, anggota tim tak menemukan adanya kegiatan.
Tuduhan "abal-abal" dan "yayasan kaleng" pun langsung dihantamkan Dubes Djoko.(Baca juga wawancara Djoko Susilo: "Promosi Komodo Kok Lewat Yayasan Abal-abal")
Di tengah upayanya, sejumlah tuduhan dialamatkan ke New7Wonders. Lembaga itu disangka abal-abal, sarat penipuan, dan hanya berorientasi profit. Bahkan SMS dukungan itu pun dipersoalkan. “Capek saja, kok soal-soal begini, serupiah saja diributin,” dia menambahkan.
Ihwal lembaga itu abal-abal dikemukakan oleh Duta Besar RI untuk Swiss, Djoko Susilo. Sejak Maret 2010 lalu, saat ia baru menjabat, politisi yang bekas wartawan itu mencium gelagat tak beres soal New7Wonders.
Djoko lalu beraksi: dia menyelidiki alamat surat New7Wonders di Hoeschgasse 8, P.O. Box 1212, 8034 Zurich. Tapi, ternyata tak valid. Yang paling mendekati adalah: Hoeschgasse 8, P.O. Box 1212, 8008 Zurich. Di sana tak ada kantor, tapi sebuah museum. Nyanggongbeberapa hari, anggota tim tak menemukan adanya kegiatan.
Tuduhan "abal-abal" dan "yayasan kaleng" pun langsung dihantamkan Dubes Djoko.(Baca juga wawancara Djoko Susilo: "Promosi Komodo Kok Lewat Yayasan Abal-abal")
Dari masalah kantor tak jelas, kontroversi merembet ke isu tuntutan uang yang dikabarkan berjumlah luar biasa, sampai US$4juta. Juga keabsahan SMS yang nilainya Rp1, dan dugaan bahwa Jusuf Kalla bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono "terjebak".
Apa kata Kalla? Ketua PMI itu justru mengaku heran, mengapa kontroversi lama baru mencuat akhir-akhir ini. “Kok diungkap lagi,” kata dia, curiga. “Minggu ini, kita dihanyutkan oleh teman-teman yang sengaja atau tidak sengaja ‘merecoki’.”
Apa kata Kalla? Ketua PMI itu justru mengaku heran, mengapa kontroversi lama baru mencuat akhir-akhir ini. “Kok diungkap lagi,” kata dia, curiga. “Minggu ini, kita dihanyutkan oleh teman-teman yang sengaja atau tidak sengaja ‘merecoki’.”
Israel juga ikut
Kalla mengatakan, urusan kadal raksasa itu tak membuat dia merasa “dikadali”. Bukan hanya pemimpin politik di Indonesia berlomba mengkampanyekan hal unik di negaranya ke New7Wonders. Dia menunjuk foto para pemimpin dunia, di antaranya Ratu Yordania, penguasa Dubai, PM Bangladesh Sheikh Hasina, Presiden Korea Selatan Lee Myung Bak, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kalla lalu berujar, “Apa sanggup membodohi mereka semua?”
Kalla mengatakan, urusan kadal raksasa itu tak membuat dia merasa “dikadali”. Bukan hanya pemimpin politik di Indonesia berlomba mengkampanyekan hal unik di negaranya ke New7Wonders. Dia menunjuk foto para pemimpin dunia, di antaranya Ratu Yordania, penguasa Dubai, PM Bangladesh Sheikh Hasina, Presiden Korea Selatan Lee Myung Bak, dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kalla lalu berujar, “Apa sanggup membodohi mereka semua?”
Bahkan, kata Kalla, Presiden Obama juga memakai pin dukungan untuk wakil dari Amerika Serikat, Grand Canyon. Lalu, jari Kalla menunjuk foto Netanyahu yang sedang mengirimkan SMS dukungan untuk Laut Mati. “Ini orang yang paling sulit dibodohi,” kata dia tentang pemimpin Israel itu.
Kalla juga menangkis tudingan, bahwa dia cari popularitas lewat komodo menjelang Pemilu 2014. “Kalau saya orang baru, mungkin bisa dibilang saya numpang promosi pada komodo. Saya ini orang lama, lima tahun jadi wakil presiden” kata Kalla.
Kalla juga menangkis tudingan, bahwa dia cari popularitas lewat komodo menjelang Pemilu 2014. “Kalau saya orang baru, mungkin bisa dibilang saya numpang promosi pada komodo. Saya ini orang lama, lima tahun jadi wakil presiden” kata Kalla.
“Bahkan, lebih terkenal saya daripada komodo,” dia menambahkan, dan lalu tertawa.
Jusuf Kalla mengungkapkan ia menjadi Duta Komodo sejak 30 September 2011, setelah pemerintah memutuskan mencabut keikutsertaan komodo di New7Wonders itu. Dia lalu menuturkan alasannya.
Dibanding Bali dan Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur minim sumber daya. “Di Bali 6.000 turis datang tiap hari. Semua jadi maju, perekonomian, kerajinan. Di NTB juga banyak turis, kita baru meresmikan bandara internasional di sana, hotel dan cottage segera dibangun. Sementara, NTT nggak ada apa-apanya. Hanya panas yang ada,” kata dia.
Jadi, Kalla ingin menjadikan komodo sebagai pancingan bagi turis ke NTT. “Ini bukan untuk mendewa-dewakan komodo. Komodo bukan dewa, dia tidak minta rumah baru, baju baru, dia tetap berkubang di lumpur,” kata dia. “Tapi, perkenankan rakyat senang. Kenapa disusahkan? Bayangkan harapan bagi rakyat, bukan berkutat pada di mana kantornya. Mana coba yang lebih penting: rakyatkah atau kantornya?” Kalla menambahkan.
Hal lain, kampanye itu tak berarti mengorbankan komodo. Kata Kalla, ada aturannya, ada kuota. “Mungkin 300-400 orang setiap harinya. Orang asing bayar mahal.” Komodo sendiri tak bakal terancam. “Mengunjungi Komodo paling setengah sampai satu jam. Tak mungkin tinggal berlama-lama, apa mau berkelahi dengan komodo?” kata Kalla. Selain itu, ada banyak kegiatan wisata lain di Pulau Komodo. “Bisa menyelam, makan-makan di Labuan Bajo.” (Baca juga Kisah dari Komodo)
Pulau Komodo sebetulnya sudah diakui Unesco sebagai cagar manusia dan biosfer pada 1986. Lalu, pada 1991, pulau itu juga meraih gelar warisan dunia (world heritage). Lantas mengapa ngotot mendapatkan gelar New7Wonders?
Untuk hal ini, Kalla mengatakan komodo bukan satu-satunya yang berjuluk warisan dunia. Ada sekitar 900 tempat punya gelar serupa. Itu tak berarti komodo menjadi istimewa. Kunjungan turis juga tak meningkat. “Selama hampir 20 tahun, tidak didukung promosi, akhirnya jumlah pengunjung Komodo hanya 50 orang tiap harinya. Sekarang, setelah ada kampanye meningkat 100. Cita-cita kami sampai 500 orang,” ujar Kalla.
Bukan abal-abal?
Cape Town, Afrika Selatan, sekitar pukul lima pagi waktu setempat. Setengah mengantuk, Jean-Paul de la Fuente muncul menyapa orang-orang di seberang layar di Jakarta, yang saat itu pukul sepuluh pagi.
Jusuf Kalla mengungkapkan ia menjadi Duta Komodo sejak 30 September 2011, setelah pemerintah memutuskan mencabut keikutsertaan komodo di New7Wonders itu. Dia lalu menuturkan alasannya.
Dibanding Bali dan Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur minim sumber daya. “Di Bali 6.000 turis datang tiap hari. Semua jadi maju, perekonomian, kerajinan. Di NTB juga banyak turis, kita baru meresmikan bandara internasional di sana, hotel dan cottage segera dibangun. Sementara, NTT nggak ada apa-apanya. Hanya panas yang ada,” kata dia.
Jadi, Kalla ingin menjadikan komodo sebagai pancingan bagi turis ke NTT. “Ini bukan untuk mendewa-dewakan komodo. Komodo bukan dewa, dia tidak minta rumah baru, baju baru, dia tetap berkubang di lumpur,” kata dia. “Tapi, perkenankan rakyat senang. Kenapa disusahkan? Bayangkan harapan bagi rakyat, bukan berkutat pada di mana kantornya. Mana coba yang lebih penting: rakyatkah atau kantornya?” Kalla menambahkan.
Hal lain, kampanye itu tak berarti mengorbankan komodo. Kata Kalla, ada aturannya, ada kuota. “Mungkin 300-400 orang setiap harinya. Orang asing bayar mahal.” Komodo sendiri tak bakal terancam. “Mengunjungi Komodo paling setengah sampai satu jam. Tak mungkin tinggal berlama-lama, apa mau berkelahi dengan komodo?” kata Kalla. Selain itu, ada banyak kegiatan wisata lain di Pulau Komodo. “Bisa menyelam, makan-makan di Labuan Bajo.” (Baca juga Kisah dari Komodo)
Pulau Komodo sebetulnya sudah diakui Unesco sebagai cagar manusia dan biosfer pada 1986. Lalu, pada 1991, pulau itu juga meraih gelar warisan dunia (world heritage). Lantas mengapa ngotot mendapatkan gelar New7Wonders?
Untuk hal ini, Kalla mengatakan komodo bukan satu-satunya yang berjuluk warisan dunia. Ada sekitar 900 tempat punya gelar serupa. Itu tak berarti komodo menjadi istimewa. Kunjungan turis juga tak meningkat. “Selama hampir 20 tahun, tidak didukung promosi, akhirnya jumlah pengunjung Komodo hanya 50 orang tiap harinya. Sekarang, setelah ada kampanye meningkat 100. Cita-cita kami sampai 500 orang,” ujar Kalla.
Bukan abal-abal?
Cape Town, Afrika Selatan, sekitar pukul lima pagi waktu setempat. Setengah mengantuk, Jean-Paul de la Fuente muncul menyapa orang-orang di seberang layar di Jakarta, yang saat itu pukul sepuluh pagi.
“Hari ini kami akan bertemu dengan trio peraih Nobel, Nelson Mandela, Desmond Tutu, dan FW de Klerk yang sedang mengkampanyekan Table Mountain,” kata dia, membuka percakapan.
Eamonn Fitzgerald, orang nomor dua di New7Wonders itu, juga menyempatkan diri menjawab secara langsung segala kontroversi di Indonesia.
Menanggapi pertanyaan wartawan, de la Fuentel menyatakan tak habis pikir dengan ulah sebagian pejabat Indonesia. Pertama, mengapa mengirim misi rahasia, datang secara misterius ke kantor pusat New7Wonders. Bukankah lebih baik mengontak terlebih dahulu. “Dengan cara mengundang, dan menerbangkan sejumlah orang ke Swiss dengan anggaran negara,” kata dia. Kegiatan mata-mata seperti itu tak semestinya dilakukan. “Ini bukan hal yang lucu, bisa ditertawakan. Ini sangat serius.”
Dia menambahkan, ada pejabat pemerintah membelanjakan uang negara untuk membayar pengacara di Zurich, Swiss demi bantuan hukum terkait sengketa dengan New7Wonders. “Biayanya tentu sangat mahal. Patutkah menggunakan uang rakyat untuk ini, demi sakit hati orang tertentu,” ujar dia.
Ia juga mengritik sikap Dubes RI untuk Swiss Djoko Susilo yang berbicara ke media soal temuannya itu, melancarkan tudingan, tanpa mengontak pihak New7Wonders untuk meminta konfirmasi terlebih dahulu.
De la Fuente membahasakan tindakan para pejabat itu sebagai sebuah "serangan". Dia menambahkan serangan lain datang dalam bentuk dua surat dari pengacara pihak Kementerian Pariwisata RI. “Berisi protes pencoretan Kementerian Pariwisata sebagai Official Supporting Committee.” Dua surat itu tak dibalas, karena “kami hanya akan membalas jika menganggap itu penting untuk dibalas.”
Soal tuduhan alamat palsu, de la Fuente menjelaskan, New7Wonders punya dua alamat, satu PO BOX dan satu lagi di Museum Heidi Weber--milik keluarga Direktur New7Wonders, Bernad Weber.
Eamonn Fitzgerald, orang nomor dua di New7Wonders itu, juga menyempatkan diri menjawab secara langsung segala kontroversi di Indonesia.
Menanggapi pertanyaan wartawan, de la Fuentel menyatakan tak habis pikir dengan ulah sebagian pejabat Indonesia. Pertama, mengapa mengirim misi rahasia, datang secara misterius ke kantor pusat New7Wonders. Bukankah lebih baik mengontak terlebih dahulu. “Dengan cara mengundang, dan menerbangkan sejumlah orang ke Swiss dengan anggaran negara,” kata dia. Kegiatan mata-mata seperti itu tak semestinya dilakukan. “Ini bukan hal yang lucu, bisa ditertawakan. Ini sangat serius.”
Dia menambahkan, ada pejabat pemerintah membelanjakan uang negara untuk membayar pengacara di Zurich, Swiss demi bantuan hukum terkait sengketa dengan New7Wonders. “Biayanya tentu sangat mahal. Patutkah menggunakan uang rakyat untuk ini, demi sakit hati orang tertentu,” ujar dia.
Ia juga mengritik sikap Dubes RI untuk Swiss Djoko Susilo yang berbicara ke media soal temuannya itu, melancarkan tudingan, tanpa mengontak pihak New7Wonders untuk meminta konfirmasi terlebih dahulu.
De la Fuente membahasakan tindakan para pejabat itu sebagai sebuah "serangan". Dia menambahkan serangan lain datang dalam bentuk dua surat dari pengacara pihak Kementerian Pariwisata RI. “Berisi protes pencoretan Kementerian Pariwisata sebagai Official Supporting Committee.” Dua surat itu tak dibalas, karena “kami hanya akan membalas jika menganggap itu penting untuk dibalas.”
Soal tuduhan alamat palsu, de la Fuente menjelaskan, New7Wonders punya dua alamat, satu PO BOX dan satu lagi di Museum Heidi Weber--milik keluarga Direktur New7Wonders, Bernad Weber.
Mengapa tak ada aktivitas terlihat di sana?
“Kami punya filosofi tak menahan orang duduk di belakang meja mengerjakan tugasnya. Cara kerja kami tak konvensional, lewat dunia maya, dan staf kami harus berada di lapangan.” Dia menambahkan, siapapun bisa datang ke kantor pusat di Zurich, dengan terlebih dulu membuat perjanjian.
Soal tudingan abal-abal juga ia bantah keras. “Di Swiss, organisasi kami terdaftar. Ada dokumen legal dan tercatat di kantor walikota,” kata dia. Sementara, pendanaan berasal dari revenue sharing--misalnya SMS--tanpa membebani pembayar pajak.
“Kami punya filosofi tak menahan orang duduk di belakang meja mengerjakan tugasnya. Cara kerja kami tak konvensional, lewat dunia maya, dan staf kami harus berada di lapangan.” Dia menambahkan, siapapun bisa datang ke kantor pusat di Zurich, dengan terlebih dulu membuat perjanjian.
Soal tudingan abal-abal juga ia bantah keras. “Di Swiss, organisasi kami terdaftar. Ada dokumen legal dan tercatat di kantor walikota,” kata dia. Sementara, pendanaan berasal dari revenue sharing--misalnya SMS--tanpa membebani pembayar pajak.
Hubungan New7Wonders dengan pihak Kementerian Pariwisata saat ini, dia mengatakan, ibarat dua orang kekasih mesra yang lalu putus cinta. “Dulu mengatakan paling cantik, kini keluar kata-kata menyakitkan.”
Dia menambahkan, atas dasar rasa sakit hati, informasi yang beredar di sejumlah pejabat menjadi tidak benar. ”Yang menyerang kami adalah pejabat pemerintah yang selama dua tahun bekerja sama, namun tidak berperilaku baik pada New7Wonders.”
Dia menambahkan, atas dasar rasa sakit hati, informasi yang beredar di sejumlah pejabat menjadi tidak benar. ”Yang menyerang kami adalah pejabat pemerintah yang selama dua tahun bekerja sama, namun tidak berperilaku baik pada New7Wonders.”
Dia lalu merunut bagaimana sengketa dengan Kementerian Pariwisata itu terjadi.
Pada 2009, pemerintah Indonesia mengirimkan surat penawaran sebagai penyelenggara acara pengumuman ke pihak New7Wonders. Indonesia juga mengenalkan sejumlah perusahaan yang mengikuti bidding untuk menjadikan Jakarta sebagai tuan rumah. Mereka juga telah bertemu konsorsium swasta.
Tapi, dua tahun berlalu, pemerintah membatalkannya. Padahal, proposal Indonesia telah diterima, dan ditunjuk menjadi host. Ternyata, kata de la Fuente, pemerintah Indonesia tidak menepati komitmennya. New7Wonders pun mencabut dukungan. Pemerintah Indonesia dinilai tak punya komitmen. “Buat kami, ketika Anda mengatakan inilah yang akan dilakukan, dan kami percayai itu, itulah komitmen yang seharusnya dilaksanakan. Tapi ini tidak. Itu suatu wanprestasi," ujarnya.
Tapi, dua tahun berlalu, pemerintah membatalkannya. Padahal, proposal Indonesia telah diterima, dan ditunjuk menjadi host. Ternyata, kata de la Fuente, pemerintah Indonesia tidak menepati komitmennya. New7Wonders pun mencabut dukungan. Pemerintah Indonesia dinilai tak punya komitmen. “Buat kami, ketika Anda mengatakan inilah yang akan dilakukan, dan kami percayai itu, itulah komitmen yang seharusnya dilaksanakan. Tapi ini tidak. Itu suatu wanprestasi," ujarnya.
Padahal, sebelum datang surat penawaran dari pihak pemerintahan, New7Wonders telah menjelaskan elemen-elemen finansial. “Termasuk peluang mendapatkan dana US$1 miliar dari komersialisi event. Potensi ini sama sekali tak pernah disebutkan oleh pihak pemerintah.”
De la Fuente mengatakan, informasi yang beredar bahwa New7Wonders meminta uang US$45 juta adalah salah. “Kami tak pernah minta US$45 juta dari pemerintah, hanya meminta dukungan dari sektor swasta. Informasi itu bagian dari kampanye yang salah.”
Memang ada biaya. Tapi, menurutnya itu soal lisensi penyelenggaraan sebesar US$7 sampai 10 juta dolar. “Sebenarnya untuk konsorsium swasta, angka ini gampang disediakan.” Angka itu pun sudah diketahui pemerintah berbulan-bulan, selama 10 bulan. “Jadi informasi yang keluar diputarbalikkan," dia menjelaskan.
Puncak sengketa terjadi pada Februari 2011. Dia menjelaskan pihaknya harus memutuskan hal berat dan sulit: mempertahankan status Official Supporting Committee atau komodo. Akhirnya diputuskan bahwa New7Wonders mencabut status Kementerian Pariwisata RI sebagai Official Supporting Committee Pulau Komodo. (Kronologi simak di Infografik: Menjagokan Komodo)
De la Fuente mengatakan, informasi yang beredar bahwa New7Wonders meminta uang US$45 juta adalah salah. “Kami tak pernah minta US$45 juta dari pemerintah, hanya meminta dukungan dari sektor swasta. Informasi itu bagian dari kampanye yang salah.”
Memang ada biaya. Tapi, menurutnya itu soal lisensi penyelenggaraan sebesar US$7 sampai 10 juta dolar. “Sebenarnya untuk konsorsium swasta, angka ini gampang disediakan.” Angka itu pun sudah diketahui pemerintah berbulan-bulan, selama 10 bulan. “Jadi informasi yang keluar diputarbalikkan," dia menjelaskan.
Puncak sengketa terjadi pada Februari 2011. Dia menjelaskan pihaknya harus memutuskan hal berat dan sulit: mempertahankan status Official Supporting Committee atau komodo. Akhirnya diputuskan bahwa New7Wonders mencabut status Kementerian Pariwisata RI sebagai Official Supporting Committee Pulau Komodo. (Kronologi simak di Infografik: Menjagokan Komodo)
De la Fuente menambahkan, pada 11 November 2011 nanti, atau 11-11-11 pukul 11.11 GMT, siapa pemenang tujuh keajaiban alam dunia akan diumumkan. “Ini baru pengumuman pemenang tujuh keajaiban dunia sementara,” kata dia.
Mengapa sementara? Sebab, pihaknya perlu waktu menghitung jumlah suara yang masuk lewat SMS, telepon dan Internet. “Strategi kami berubah, pengumuman tak dilakukan satu malam, tapi tujuh malam di setiap negara pemenang. Kalau komodo menang, maka Jakarta akan memiliki malam perayaan termegah yang pernah ada.”
Yang kini jadi perhatian besar New7Wonders adalah, jangan sampai ketika komodo menang, masyarakat akan berpikir, “Ini kemenangan rakyat dan kekalahan pemerintah.” Sebetulnya, kata dia, hanya sedikit elemen yang menentang. Bahkan pucuk pimpinan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ikut mendukung komodo dengan mengirimkan SMS dan mengimbau rakyat memberikan suaranya.
De la Fuente berharap, ke depan ada rekonsiliasi antara pemerintah dengan masyarakat terkait komodo. Jusuf Kalla dan Emmy Hafild diminta menfasilitasinya. “Ini tidak lebih sulit dari merekonsiliasi Aceh kan, Pak Kalla?” tanya dia.
Mengapa sementara? Sebab, pihaknya perlu waktu menghitung jumlah suara yang masuk lewat SMS, telepon dan Internet. “Strategi kami berubah, pengumuman tak dilakukan satu malam, tapi tujuh malam di setiap negara pemenang. Kalau komodo menang, maka Jakarta akan memiliki malam perayaan termegah yang pernah ada.”
Yang kini jadi perhatian besar New7Wonders adalah, jangan sampai ketika komodo menang, masyarakat akan berpikir, “Ini kemenangan rakyat dan kekalahan pemerintah.” Sebetulnya, kata dia, hanya sedikit elemen yang menentang. Bahkan pucuk pimpinan negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ikut mendukung komodo dengan mengirimkan SMS dan mengimbau rakyat memberikan suaranya.
De la Fuente berharap, ke depan ada rekonsiliasi antara pemerintah dengan masyarakat terkait komodo. Jusuf Kalla dan Emmy Hafild diminta menfasilitasinya. “Ini tidak lebih sulit dari merekonsiliasi Aceh kan, Pak Kalla?” tanya dia.
Jusuf Kalla menjawab spontan, “Easy.”
“Perang” berlanjut
Tapi, “perang” di seputar komodo terus berlanjut. Meski telah diklarifikasi oleh New7Wonders terkait tudingan alamat palsu, toh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar tak begitu saja percaya.
“Perang” berlanjut
Tapi, “perang” di seputar komodo terus berlanjut. Meski telah diklarifikasi oleh New7Wonders terkait tudingan alamat palsu, toh Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar tak begitu saja percaya.
Sapta tetap berpegang pada informasi Dubes Djoko Susilo ketimbang lembaga Swiss itu. Soalnya, Djoko telah mengecek alamat itu sebelum ramai-ramai seperti sekarang. “Ya saya percaya Duta Besar lah, wong duta besar wakil kita di sana. Dia nggak ada kepentingan apa-apa, kecuali buat Bangsa,” ujar dia.
Soal gugatan ke New7Wonders yang dilakukan Kementerian, Sapta mengatakan itu tak bermotif pribadi, tapi meneguhkan sikap Indonesia tak rela dicoret dari keikutsertaannya di New7Wonders. “Itu bukan pribadi, kan ini tidak ada urusan pribadi, tapi Kementerian,” kata dia.
Isu permintaan uang sebesar US$45 juta, Sapta menyanggah penjelasan de la Fuente. “Memang benar dia nggak minta uang, tapi syaratnya untuk menjadi tuan rumah ya itu. Yang sudah dia minta US$10 juta. Dia nggak bilang minta, tapi syarat, kan sama saja,” kata dia.
Djoko Susilo sendiri tetap beratahan dengan pendapat awalnya soal New7Wonders: lembaga itu abal-abal dan berorientasi hanya pada uang. “Dalam website-nya sendiri saya sudah baca, si New7Wonders tujuannya mencari duit,” kata Djoko kepada VIVAnews.com, Jumat 4 November 2011 malam.
Dia mengatakan kebanggaan dari ajang yang diselenggarakan organisasi itu semu. “Kalau membayar, ibaratnya Anda menyandang gelar MBA, doktor, dengan cara setor uang jutaan. Dicetakkan diplomanya, Anda pajang dan bangga sendiri, padahal dari universitas nggakjelas,” kata dia.
Soal dalil New7Wonders sudah memiliki legalitas yang dikeluarkan pemerintah Zurich, ia mengatakan, “Teman-teman di Jakarta tak familiar sistem hukum di Swiss. Di sini mendirikan yayasan itu gampang, asal ada akta notaris,” kata Djoko. “Mereka sangat pintar, secara teknis memang tidak menipu,” kata dia.
Djoko mengaku menemukan pola penipuan yang sama dengan yang dilakukan New7Wonders sejak 2007. “Di India dan Maldives, harga SMS bisa sampai 2 dolar,” kata dia. “Masa saat 2007 Taj Mahal kalah, orang India bisa tersinggung, mereka terpancing dengan rasa nasionalisme, lalu akhirnya membayar,” kata dia.
KBRI di Swiss selama ini sudah berusaha mengontak Yayasan New7Wonders, berkali-kali. “Sudah satu tahun, selalu tutup. Tim Kementeridan Budpar delapan orang nyanggong 3-4 hari nggak ada kegiatan,” kata dia.
Soal gugatan ke New7Wonders yang dilakukan Kementerian, Sapta mengatakan itu tak bermotif pribadi, tapi meneguhkan sikap Indonesia tak rela dicoret dari keikutsertaannya di New7Wonders. “Itu bukan pribadi, kan ini tidak ada urusan pribadi, tapi Kementerian,” kata dia.
Isu permintaan uang sebesar US$45 juta, Sapta menyanggah penjelasan de la Fuente. “Memang benar dia nggak minta uang, tapi syaratnya untuk menjadi tuan rumah ya itu. Yang sudah dia minta US$10 juta. Dia nggak bilang minta, tapi syarat, kan sama saja,” kata dia.
Djoko Susilo sendiri tetap beratahan dengan pendapat awalnya soal New7Wonders: lembaga itu abal-abal dan berorientasi hanya pada uang. “Dalam website-nya sendiri saya sudah baca, si New7Wonders tujuannya mencari duit,” kata Djoko kepada VIVAnews.com, Jumat 4 November 2011 malam.
Dia mengatakan kebanggaan dari ajang yang diselenggarakan organisasi itu semu. “Kalau membayar, ibaratnya Anda menyandang gelar MBA, doktor, dengan cara setor uang jutaan. Dicetakkan diplomanya, Anda pajang dan bangga sendiri, padahal dari universitas nggakjelas,” kata dia.
Soal dalil New7Wonders sudah memiliki legalitas yang dikeluarkan pemerintah Zurich, ia mengatakan, “Teman-teman di Jakarta tak familiar sistem hukum di Swiss. Di sini mendirikan yayasan itu gampang, asal ada akta notaris,” kata Djoko. “Mereka sangat pintar, secara teknis memang tidak menipu,” kata dia.
Djoko mengaku menemukan pola penipuan yang sama dengan yang dilakukan New7Wonders sejak 2007. “Di India dan Maldives, harga SMS bisa sampai 2 dolar,” kata dia. “Masa saat 2007 Taj Mahal kalah, orang India bisa tersinggung, mereka terpancing dengan rasa nasionalisme, lalu akhirnya membayar,” kata dia.
KBRI di Swiss selama ini sudah berusaha mengontak Yayasan New7Wonders, berkali-kali. “Sudah satu tahun, selalu tutup. Tim Kementeridan Budpar delapan orang nyanggong 3-4 hari nggak ada kegiatan,” kata dia.
Kontak lewat email? “Nggak pernah ada,” katanya.
Itu sebabnya Djoko membenarkan sikap Kementerian mengirim tim penyelidik ke Swiss dan menyimpulkan: ini memang yayasan abal-abal. (np)
• VIVAnews
0 comments:
Post a Comment