LuckyDelapan News
Dia memahami mati seperti halnya memaknai soal hidup.
SABTU, 8 OKTOBER 2011, 02:20 WIB
Muhammad Firman
VIVAnews –Steve Jobs terbaring di ranjangnya, di University Hospital of Basel, Swiss, pada suatu hari Agustus 2004. Kampus itu terkenal punya unit perawatan khusus kanker neuroendicrine terbaik di dunia. Lewat Apple PowerBook 17 inci, Jobs melayangkan sebuah email kepada seluruh karyawannya.
Kepada mereka yang mencemaskannya di Apple Inc., Jobs memberi kabar adem. Dia, katanya, lagi menghabiskan istirahat di bulan Agustus, memulihkan diri dari operasi akibat kanker pankreas langka. Jobs sangat percaya diri. Dia berjanji kembali memimpin perusahaan, September tahun itu.
Memang, kabar dari dokter membuat banyak orang lega. Kanker pankreas yang diderita Steve Jobs, kata dokter, dari jenis kanker lambat tumbuh. Dia bisa diobati. Salah satunya dengan transplantasi hati.
Seorang dokternya bahkan begitu optimistis. Dia menyatakan orang dengan fisik seperti sang pendiri Apple itu punya harapan hidup hingga 20 tahun, setelah operasi kanker dini.
Lima tahun kemudian, pada 2009, Jobs harus kembali menitipkan tongkat komando Apple kepada Chief Operating Officer Timothy Cook. Ia cuti untuk operasi transplantasi hati. Hanya itu jalan menuntaskan kankernya.
Jobs memang kembali ke Apple. Dia tersenyum lebar. “Kini saya memiliki hati sama seperti orang berusia 20 tahun,” ujarnya, setelah melakukan transplantasi.
Tapi ada masalah lain. Berat badannya terus merosot. Kanker yang tadinya tandas, rupanya muncul lagi. Jobs sakit. Dia kembali mengirim email kepada karyawan Apple. Soal kesehatannya, kata Jobs, ternyata lebih kompleks dari yang dia duga. Berat badannya habis akibat ‘ketidakseimbangan hormon’.
Pada 2011, ia kembali cuti sakit. Kali ini, Jobs sudah tak kuat. Dia cuti permanen sampai akhirnya 24 Agustus, ia menyerahkan jabatan CEO sepenuhnya kepada Tim Cook. Dia percaya pada Cook, meski banyak pihak khawatir kinerja Apple akan anjlok tanpa Jobs. Kecemasan itu sepertinya tak berdasar.
Apple tetap berkibar meski Jobs tengah bergulat dengan penyakit. Bahkan pada 2011, sebagian besar pendapatan perusahaan malah ditimba dari produk yang dibuat tatkala Jobs tengah mengambil cuti sakit pertamanya. (Lihat infografik "iLife: Steve Jobs, 1955-2011").
Ada satu hal lain, yang membuat Apple tetap percaya diri. Sang legenda Apple itu telah mengajarkan karyawannya untuk berpikir layaknya seorang Steve Jobs.
Zen
Jobs adalah seorang pencari. Dia yakin, agar hidup berhasil, orang harus menemukan apa yang paling dicintainya. Di masa mudanya, jauh sebelum ia sukses membesarkan Apple, ia pernah melanglang buana. Jobs mencari jati diri, dan apa yang paling ia inginkan dalam hidupnya.
Itu terjadi pada 1974, ketika ia bekerja di Atari, ia menemui Al Alcorn, atasannya. Jobs meminta uang untuk melakukan perjalanan spiritual ke India. Atasannya menyetujui mengongkosi, namun hanya sampai Jerman. Di Jerman, ia juga harus melakukan pekerjaan untuk Atari. Jobs setuju.
Selesai urusan di Jerman, dana pun terkumpul. Bersama Dan Kottke, sahabatnya sejak di Reed College, Steve berangkat ke India mencari pencerahan. Tepatnya pada musim panas 1974. Sayangnya, ternyata guru yang ia ingin temui, Neem Kairolie Baba sudah lebih dulu meninggal.
Tidak jelas apakah Jobs berhasil mendapatkan pencerahan selama sebulan perjalanan spiritualnya di India. Yang pasti, ia mencukur botak rambutnya, menggunakan busana tradisional India, dan menganut Buddha sepulang dari negeri itu.
Sepulang dari India, Jobs pernah menyebutkan, ia tak mencari tempat di mana ia bisa mendapatkan pencerahan. Namun di sana, kata Jobs, untuk pertama kalinya ia mulai menyadari Thomas Alfa Edison menghadirkan lebih banyak perubahan bagi dunia dibandingkan gabungan Karl Marx dan Neem Kairolie Baba.
Pernyataan itu menunjukkan siapa Jobs sebenarnya. Perjalanan spiritualnya ke India karena dia memang tertarik dengan Budhisme. Jobs yakin, jika ia bisa membantu orang banyak, lebih banyak dibandingkan sekadar menyebarkan filosofi, ia akan benar-benar menjalani hidup yang ingin ia jalankan.
Kembali ke Amerika, ia balik ke Atari. Tapi Budhisme yang dipelajarinya bukan lagi yang berasal dari India. Di waktu luang, ia menghadiri sesi terapi digelar di Los Altos Zen Center, dan berguru pada Kobun Chino Otogawa, seorang guru Zen asal Jepang, dari mazhab Soto. Belakangan, Kobun Chino pula lah yang menyarankan Jobs tetap berkarya dan tidak melanjutkan niatnya jadi biarawan.
Berkat masukan dari Kobun Chino, Jobs kemudian membuat perusahaan yang ingin ia buat, serta menghasilkan produk yang sangat ia impikan. Inilah pencerahan yang sebenarnya ia cari. Para pengagum Jobs mengatakan keberhasilan produk gadget Apple yang berdesain minimalis dan mudah digunakan, adalah bentuk dari semacam pengalaman Zen.
Kobun memang mengajarkan Jobs praktik meditasi Zen.
“Tujuan sebenarnya dari praktik itu adalah mencari kebijakan yang senantiasa bersama dirimu. Menemukan dirimu adalah menemukan kebijakan, tanpa menemukan dirimu, kamu tak akan pernah bisa berhubungan dengan orang lain,” ujar Kobun, dalam satu sesi ceramahnya.
Jobs juga mengangkat Kobun sebagai “penasihat spiritual” bagi perusahaan yang dia dirikan setelah dipecat sebagai CEO Apple pada 1986. Perusahaan itu bernama NeXT. Perusahaan ini akhirnya memang dibeli oleh Apple, ketika Jobs kembali lagi ke Apple. Kobun tewas dalam suatu kecelakaan ketika hendaknya menyelamatkan putrinya yang tenggelam pada 2002.
Penulis buku “The Second Coming of Steve Jobs” Alan Deutsmann, menggambarkan Kobun sebagai seorang pendeta Zen Budhis yang menjadi guru dan kawan bagi Jobs sejak dia muda. Pendeta itu terkenal puitis, penuh welas asih, serta romantis. “Bicaranya lambat, bahkan dalam bahasa Jepang, tapi memberikan kuliah yang dahsyat … Dia melawan semua disiplin ketat dan tanggung jawab berat seorang pendeta. Dia adalah Steve Jobs bagi Zen,” tulis Alan pada bukunya yang terbit 2001 itu.
Soal hubungan Kobun dan Jobs tampaknya menjadi inti dari spiritualitas yang mewarnai gerak Jobs di Apple Inc. Majalah Forbes bahkan akan menerbitkan satu novel grafis pada musim gugur 2011 ini.
Novel grafis itu berkisah tentang hubungan Kobun dan Jobs. Judulnya adalah “The Zen of Steve Jobs”. Ceritanya berkisar pada era 1980an, tentang bagaimana Kobun mengajarkan Jobs soal kinhin, suatu meditasi berjalan, dan tentang konsep ma. Forbes bahkanmembocorkan empat halaman novel itu di situs mereka.
Kepada mereka yang mencemaskannya di Apple Inc., Jobs memberi kabar adem. Dia, katanya, lagi menghabiskan istirahat di bulan Agustus, memulihkan diri dari operasi akibat kanker pankreas langka. Jobs sangat percaya diri. Dia berjanji kembali memimpin perusahaan, September tahun itu.
Memang, kabar dari dokter membuat banyak orang lega. Kanker pankreas yang diderita Steve Jobs, kata dokter, dari jenis kanker lambat tumbuh. Dia bisa diobati. Salah satunya dengan transplantasi hati.
Seorang dokternya bahkan begitu optimistis. Dia menyatakan orang dengan fisik seperti sang pendiri Apple itu punya harapan hidup hingga 20 tahun, setelah operasi kanker dini.
Lima tahun kemudian, pada 2009, Jobs harus kembali menitipkan tongkat komando Apple kepada Chief Operating Officer Timothy Cook. Ia cuti untuk operasi transplantasi hati. Hanya itu jalan menuntaskan kankernya.
Jobs memang kembali ke Apple. Dia tersenyum lebar. “Kini saya memiliki hati sama seperti orang berusia 20 tahun,” ujarnya, setelah melakukan transplantasi.
Tapi ada masalah lain. Berat badannya terus merosot. Kanker yang tadinya tandas, rupanya muncul lagi. Jobs sakit. Dia kembali mengirim email kepada karyawan Apple. Soal kesehatannya, kata Jobs, ternyata lebih kompleks dari yang dia duga. Berat badannya habis akibat ‘ketidakseimbangan hormon’.
Pada 2011, ia kembali cuti sakit. Kali ini, Jobs sudah tak kuat. Dia cuti permanen sampai akhirnya 24 Agustus, ia menyerahkan jabatan CEO sepenuhnya kepada Tim Cook. Dia percaya pada Cook, meski banyak pihak khawatir kinerja Apple akan anjlok tanpa Jobs. Kecemasan itu sepertinya tak berdasar.
Apple tetap berkibar meski Jobs tengah bergulat dengan penyakit. Bahkan pada 2011, sebagian besar pendapatan perusahaan malah ditimba dari produk yang dibuat tatkala Jobs tengah mengambil cuti sakit pertamanya. (Lihat infografik "iLife: Steve Jobs, 1955-2011").
Ada satu hal lain, yang membuat Apple tetap percaya diri. Sang legenda Apple itu telah mengajarkan karyawannya untuk berpikir layaknya seorang Steve Jobs.
Zen
Jobs adalah seorang pencari. Dia yakin, agar hidup berhasil, orang harus menemukan apa yang paling dicintainya. Di masa mudanya, jauh sebelum ia sukses membesarkan Apple, ia pernah melanglang buana. Jobs mencari jati diri, dan apa yang paling ia inginkan dalam hidupnya.
Itu terjadi pada 1974, ketika ia bekerja di Atari, ia menemui Al Alcorn, atasannya. Jobs meminta uang untuk melakukan perjalanan spiritual ke India. Atasannya menyetujui mengongkosi, namun hanya sampai Jerman. Di Jerman, ia juga harus melakukan pekerjaan untuk Atari. Jobs setuju.
Selesai urusan di Jerman, dana pun terkumpul. Bersama Dan Kottke, sahabatnya sejak di Reed College, Steve berangkat ke India mencari pencerahan. Tepatnya pada musim panas 1974. Sayangnya, ternyata guru yang ia ingin temui, Neem Kairolie Baba sudah lebih dulu meninggal.
Tidak jelas apakah Jobs berhasil mendapatkan pencerahan selama sebulan perjalanan spiritualnya di India. Yang pasti, ia mencukur botak rambutnya, menggunakan busana tradisional India, dan menganut Buddha sepulang dari negeri itu.
Sepulang dari India, Jobs pernah menyebutkan, ia tak mencari tempat di mana ia bisa mendapatkan pencerahan. Namun di sana, kata Jobs, untuk pertama kalinya ia mulai menyadari Thomas Alfa Edison menghadirkan lebih banyak perubahan bagi dunia dibandingkan gabungan Karl Marx dan Neem Kairolie Baba.
Pernyataan itu menunjukkan siapa Jobs sebenarnya. Perjalanan spiritualnya ke India karena dia memang tertarik dengan Budhisme. Jobs yakin, jika ia bisa membantu orang banyak, lebih banyak dibandingkan sekadar menyebarkan filosofi, ia akan benar-benar menjalani hidup yang ingin ia jalankan.
Kembali ke Amerika, ia balik ke Atari. Tapi Budhisme yang dipelajarinya bukan lagi yang berasal dari India. Di waktu luang, ia menghadiri sesi terapi digelar di Los Altos Zen Center, dan berguru pada Kobun Chino Otogawa, seorang guru Zen asal Jepang, dari mazhab Soto. Belakangan, Kobun Chino pula lah yang menyarankan Jobs tetap berkarya dan tidak melanjutkan niatnya jadi biarawan.
Berkat masukan dari Kobun Chino, Jobs kemudian membuat perusahaan yang ingin ia buat, serta menghasilkan produk yang sangat ia impikan. Inilah pencerahan yang sebenarnya ia cari. Para pengagum Jobs mengatakan keberhasilan produk gadget Apple yang berdesain minimalis dan mudah digunakan, adalah bentuk dari semacam pengalaman Zen.
Kobun memang mengajarkan Jobs praktik meditasi Zen.
“Tujuan sebenarnya dari praktik itu adalah mencari kebijakan yang senantiasa bersama dirimu. Menemukan dirimu adalah menemukan kebijakan, tanpa menemukan dirimu, kamu tak akan pernah bisa berhubungan dengan orang lain,” ujar Kobun, dalam satu sesi ceramahnya.
Jobs juga mengangkat Kobun sebagai “penasihat spiritual” bagi perusahaan yang dia dirikan setelah dipecat sebagai CEO Apple pada 1986. Perusahaan itu bernama NeXT. Perusahaan ini akhirnya memang dibeli oleh Apple, ketika Jobs kembali lagi ke Apple. Kobun tewas dalam suatu kecelakaan ketika hendaknya menyelamatkan putrinya yang tenggelam pada 2002.
Penulis buku “The Second Coming of Steve Jobs” Alan Deutsmann, menggambarkan Kobun sebagai seorang pendeta Zen Budhis yang menjadi guru dan kawan bagi Jobs sejak dia muda. Pendeta itu terkenal puitis, penuh welas asih, serta romantis. “Bicaranya lambat, bahkan dalam bahasa Jepang, tapi memberikan kuliah yang dahsyat … Dia melawan semua disiplin ketat dan tanggung jawab berat seorang pendeta. Dia adalah Steve Jobs bagi Zen,” tulis Alan pada bukunya yang terbit 2001 itu.
Soal hubungan Kobun dan Jobs tampaknya menjadi inti dari spiritualitas yang mewarnai gerak Jobs di Apple Inc. Majalah Forbes bahkan akan menerbitkan satu novel grafis pada musim gugur 2011 ini.
Novel grafis itu berkisah tentang hubungan Kobun dan Jobs. Judulnya adalah “The Zen of Steve Jobs”. Ceritanya berkisar pada era 1980an, tentang bagaimana Kobun mengajarkan Jobs soal kinhin, suatu meditasi berjalan, dan tentang konsep ma. Forbes bahkanmembocorkan empat halaman novel itu di situs mereka.
Kematian
Apa yang diajarkan Kobun itu memang kemudian tampak kental dalam pikiran dan tindakan Jobs. Dia mencoba mencari makna diri, dan juga memahami tujuan hidup. Itu sebabnya Jobs paham makna kematian seperti ajaran Zen.
Dalam sebuah ceramah di depan wisudawan Universitas Stanford, AS, Juni 2005, yang kemudian disebut-sebut sebagai salah satu ceramah paling inspiratif pada abad 21, Jobs berkata:
“Mengingat bahwa suatu saat saya akan mati adalah hal perangkat paling penting yang pernah saya temui untuk membantu menentukan pilihan besar dalam hidup. Karena hampir semua – seluruh harapan dari luar, kebanggaan, takut dipermalukan atau kegagalan – semua ini sirna di hadapan kematian, dan hanya menyisakan satu hal penting. Mengingat Anda akan mati adalah cara terbaik menghindari jebakan bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda sebenarnya sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati.”
Jobs lalu kembali bercerita, hari pada Agustus 2004, saat dia terbaring sakit itu. Pada pagi hari, saat pertama kali ia didiagnosa menderita kanker, dokter menyebutkan kanker itu tidak bisa disembuhkan. Ia diperkirakan tak akan hidup lebih dari 3 sampai 6 bulan. Mereka menyarankan Jobs pulang, dan membereskan segala urusannya. Ini adalah kode dari para dokter bagi pasien tidak punya harapan hidup.
Sorenya, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan. Ternyata, kanker yang diderita adalah kanker pankreas langka yang bisa disembuhkan dengan pembedahan. Menurut Jobs, itu adalah momen terdekatnya dengan kematian.
Menyadari itu, Jobs kemudian memahami kematian adalah hal berguna, dan ada konsep intelektual di belakangnya.
“Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga tidak ingin mati terlebih dahulu untuk mencapainya. Namun kematian adalah tujuan yang pasti kita alami. Tidak pernah ada yang berhasil lolos darinya. Dan seperti seharusnya, kematian adalah satu-satunya temuan terbaik dalam kehidupan. Kematian adalah alat perubahan hidup. Ia membersihkan generasi tua dan membuka jalan bagi generasi muda. Saat ini Anda merupakan generasi muda, namun suatu hari, tak terlalu lama dari hari ini, Anda akan menjadi generasi tua dan disingkirkan. Bukan bermaksud untuk mendramatisir, tetapi itulah kenyataannya,” ucap Jobs.
Pada kesempatan lain, bahkan jauh sebelum ia terdeteksi menderita kanker, Jobs pernah menyebutkan: “Menjadi orang paling kaya di pemakaman umum tak lah penting bagi saya. Tapi setiap malam menjelang tidur kita bisa berucap kita telah melakukan sesuatu luar biasa hari ini, itulah hal paling penting,” kata Jobs.
Dan Jobs telah melakukan hal yang ia yakini benar dalam hidupnya. Ia menjadi ikon penting dunia digital di abad 21. Pada 5 Oktober 2011, ketika maut datang menjemputnya, ribuan orang di dunia pun menundukkan kepala. (np)
• VIVAnewsApa yang diajarkan Kobun itu memang kemudian tampak kental dalam pikiran dan tindakan Jobs. Dia mencoba mencari makna diri, dan juga memahami tujuan hidup. Itu sebabnya Jobs paham makna kematian seperti ajaran Zen.
Dalam sebuah ceramah di depan wisudawan Universitas Stanford, AS, Juni 2005, yang kemudian disebut-sebut sebagai salah satu ceramah paling inspiratif pada abad 21, Jobs berkata:
“Mengingat bahwa suatu saat saya akan mati adalah hal perangkat paling penting yang pernah saya temui untuk membantu menentukan pilihan besar dalam hidup. Karena hampir semua – seluruh harapan dari luar, kebanggaan, takut dipermalukan atau kegagalan – semua ini sirna di hadapan kematian, dan hanya menyisakan satu hal penting. Mengingat Anda akan mati adalah cara terbaik menghindari jebakan bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda sebenarnya sudah telanjang. Tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati.”
Jobs lalu kembali bercerita, hari pada Agustus 2004, saat dia terbaring sakit itu. Pada pagi hari, saat pertama kali ia didiagnosa menderita kanker, dokter menyebutkan kanker itu tidak bisa disembuhkan. Ia diperkirakan tak akan hidup lebih dari 3 sampai 6 bulan. Mereka menyarankan Jobs pulang, dan membereskan segala urusannya. Ini adalah kode dari para dokter bagi pasien tidak punya harapan hidup.
Sorenya, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan. Ternyata, kanker yang diderita adalah kanker pankreas langka yang bisa disembuhkan dengan pembedahan. Menurut Jobs, itu adalah momen terdekatnya dengan kematian.
Menyadari itu, Jobs kemudian memahami kematian adalah hal berguna, dan ada konsep intelektual di belakangnya.
“Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga tidak ingin mati terlebih dahulu untuk mencapainya. Namun kematian adalah tujuan yang pasti kita alami. Tidak pernah ada yang berhasil lolos darinya. Dan seperti seharusnya, kematian adalah satu-satunya temuan terbaik dalam kehidupan. Kematian adalah alat perubahan hidup. Ia membersihkan generasi tua dan membuka jalan bagi generasi muda. Saat ini Anda merupakan generasi muda, namun suatu hari, tak terlalu lama dari hari ini, Anda akan menjadi generasi tua dan disingkirkan. Bukan bermaksud untuk mendramatisir, tetapi itulah kenyataannya,” ucap Jobs.
Pada kesempatan lain, bahkan jauh sebelum ia terdeteksi menderita kanker, Jobs pernah menyebutkan: “Menjadi orang paling kaya di pemakaman umum tak lah penting bagi saya. Tapi setiap malam menjelang tidur kita bisa berucap kita telah melakukan sesuatu luar biasa hari ini, itulah hal paling penting,” kata Jobs.
Dan Jobs telah melakukan hal yang ia yakini benar dalam hidupnya. Ia menjadi ikon penting dunia digital di abad 21. Pada 5 Oktober 2011, ketika maut datang menjemputnya, ribuan orang di dunia pun menundukkan kepala. (np)
0 comments:
Post a Comment