• ParadiseBOX
VIVAnews--Hampir setiap hari para polisi hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, berjalan kaki menyusuri hutan perawan di wilayah seluas 125 ribu hektar. Itu tugas rutin, berpatroli mengawasi tiga area besar taman konservasi, Way Kanan, Way Bungur, dan Kuala Penet. Setiap area itu dibagi lagi menjadi empat resor.
• ParadiseBOX
VIVAnews--Hampir setiap hari para polisi hutan di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, berjalan kaki menyusuri hutan perawan di wilayah seluas 125 ribu hektar. Itu tugas rutin, berpatroli mengawasi tiga area besar taman konservasi, Way Kanan, Way Bungur, dan Kuala Penet. Setiap area itu dibagi lagi menjadi empat resor.
Mereka menjaga taman nasional dari pembalakan liar, atau perburuan liar. Hutan di Way Kambas adalah tempat konservasi badak, harimau sumatera, dan juga gajah. Di sana bahkan ada sekolah gajah pertama di Indonesia.
Sekali patroli, para polisi hutan itu bisa berjalan kaki selama dua pekan, atau bahkan sebulan. “Mereka membawa makanan, dan juga tenda”, ujar juru bicara Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko kepada VIVAnews.
Tapi satu regu patroli di resor Rawa Bunder, Way Kanan, menemukan hal mengejutkan pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu. Di petang hari itu, di saat tubuh mulai lelah, tujuh polisi hutan terperangah: ada sekelompok makhluk mirip manusia namun ukurannya lebih kecil melintas di rawa.
Mereka sontak terkesiap. Para polisi hutan dan kelompok “orang pendek” itu berhadap-hadapan dengan jarak sekitar 30 meter. Kaget, dan tak menyangka bersua makhluk aneh, para polisi hutan itu terpacak diam. Hening. Sekejap kemudian, gerombolan “orang pendek” itu berlari masuk ke dalam rimbun hutan. Hilang.
Barulah para polisi hutan sadar, seharusnya mereka mengabadikan gambar “orang-orang pendek” itu. Mereka hanya bisa mengingat “orang-orang pendek” itu bertelanjang, sebagian memegang kayu berbentuk tombak, dan bahkan ada yang menggendong bayi. Diduga saat itu, mereka sedang mencari ikan atau mencari air minum.
Penasaran dengan apa yang mereka lihat, tiga hari kemudian, grup itu kembali berpatroli di tempat sama. Tim sengaja memilih waktu persis saat mereka bertemu makhluk aneh, menjelang malam. Dan betul, “orang-orang pendek” yang dihitung lebih dari sepuluh orang itu terlihat lagi. “Suasana dan lokasinya sama saat petugas patroli melihat yang pertama dan yang kedua,” kata Sukatmoko. Namun, lagi-lagi, polisi kalah cepat memotret mereka.
Dari penampakan kedua ini, tim memastikan, penampilan “orang-orang pendek” itu seperti manusia purba. “Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun petugas kami melihat ada di antaranya seperti yang perempuan sedang menggendong bayi,” Sukatmoko menambahkan.
Hari itu juga, polisi hutan Taman Nasional memasang 15 kamera pengintai bersensor inframerah di sekitar lokasi itu. Kamera ini biasa digunakan untuk menangkap gambar aktifitas satwa liar, dan bisa menangkap objek bergerak yang melewatinya baik siang maupun malam.
“Nanti kalau sudah ada bukti secara visual kami baru bisa bicara. Karena selama ini kami hanya mengandalkan bukti penglihatan mata petugas, maka kami saja belum berani melaporkannya ke kementerian kehutanan secara resmi,” kata Sukatmoko.
Ini sebetulnya bukan kali pertama “orang-orang pendek” itu terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas. Denni, seorang anggota pendaki itu, menghubungi VIVAnews setelah berita temuan “orang-orang pendek” itu dimuat di media. “Saya pernah melihat ‘orang pendek’”, ujarnya.
Dia berkisah, pada suatu pagi, dia mendaki gunung setinggi 2.887 meter itu. Sekitar pinggang gunung, di sebuah kawasan yang agak datar, tiba-tiba Denni dan temannya kaget campur takjub melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki. Tangannya mengayun khas seperti manusia. “Bulunya berwarna emas, berjalan tegak, berpegangan tangan,” kata Denni. Denni dan temannya berhenti berjalan, lalu mengamati.
Tinggi makhluk tak berekor itu sepinggangnya atau kira-kira 1 meter. Sepasang makhluk itu berjalan kira-kira 30 meter di dekat mereka berdua. Semua badannya berbulu, kecuali mukanya. Bulu di kepalanya sedikit lebih panjang. “Mukanya agak rata,” kata Denni.
Meski perawakan seperti manusia, namun bulu tipis di sekujur badannya membuatnya tampak lebih seperti monyet daripada manusia, kata Denni.
Karena tak pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya, Denni yang menenteng kamera saku pun bergerak cepat hendak memotret. Namun seperti tahu mau dipotret, kedua makhluk itu bergerak lebih cepat, menghilang di balik rimbun pepohonan. Dia gagal mengambil gambar dari temuan langka itu.
“Orang Pendek” Kerinci
Tapi Deborah Martyr, perempuan peneliti asal Inggris yang beberapa kali menyaksikan ”orang pendek” di Taman Nasional Kerinci Seblat, meragukan makhluk yang dilihat polisi hutan di Way Kambas adalah “orang pendek” yang sama.
Debbie, begitu panggilan perempuan itu, menyatakan “orang-orang pendek” yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol lebih dari tiga orang.
“Saat melihat ‘orang pendek’, dia hanya sendiri. Tidak pernah saya melihat mereka berkelompok hingga belasan,” kata Pemimpin Tim Fauna & Flora International's Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera itu. (Baca juga bagian 4—Wawancara Debbie Martyr)
Perkenalan Debbie dengan “orang pendek” dimulai dari tahun 1989, ketika dia saat itu bekerja sebagai jurnalis sebuah media di Inggris, dan berlibur ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Saat itu, Debbie mendengar kisah Orang Pendek. Dia pun penasaran. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International-IP dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Project Orang Pendek.
“Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos,” katanya saat diwawancara jurnalis VIVAnews, Eri Naldi dan Arjuna Nusantara, di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013.
Debbie pertama kali melihat “orang pendek” tahun 1994 di kawasan Gunung Tujuh dan kemudian di Gunung Kerinci, masih di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tahun 1995, saat memasuki bagian Sumatera Barat dari taman nasional itu, di Solok Selatan, kembali Debbie melihat makhluk soliter ini. Tahun itu juga dia kembali menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara. Terakhir, pada 1996, Debbie melihatnya lagi di sebuah hutan produksi di Mukomuko, Bengkulu, dan di Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Namun tak satu pun yang berhasil dipotretnya. Padahal mereka sudah memakai kamera pengintai paling canggih yang biasa memotret harimau sumatera. Alhasil, tim penelitian ini lebih banyak mengandalkan penelitian berdasarkan pandangan mata saksi, termasuk mereka sendiri.
“Badannya agak besar, tinggi sekitar 130 cm. Warna kulitnya madu tua, bulu di kepala sedikit tebal. Perawakan wajahnya hampir sama dengan orangutan tapi tidak mirip dengan manusia,” kata Debbie menceritakan ciri-cirinya, mirip seperti yang dilihat Denni di Gunung Singgalang.
Yanuar yang meraih gelar master dari Universitas Cambridge, Inggris, atas penelitian primata di Kerinci ini juga mengalami hal yang sama, hanya bisa melihat namun tak bisa mengabadikan gambar “orang pendek” ini. Bahkan Yanuar lebih dulu melihat “orang pendek” ini daripada Debbie. Kali pertama, seperti diungkapkannya dalam sebuah laporan terkait Project Orang Pendek, adalah di Provinsi Lampung di tahun 1993.
“Jelas sekali berjalan dengan dua kaki, memperlihatkan ayunan tangannya,” kata Yanuar. “Warna (bulu)nya coklat agak keemasan.”
Meski tak mendapatkan gambar meyakinkan, Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat.
“Jempol menonjol keluar dan beban sepertinya dibagi rata untuk menghasilkan kombinasi kera besar dan manusia. Saya mencatat beberapa persamaan, berdasarkan bentuk kaki,” Yanuar menulis di laporan riset.
Satu kali, dalam riset lapangan, tim sempat mendapatkan feses segar “orang pendek”. Baunya seperti feses manusia. Analisis atas feses ini, disimpulkan orang pendek itu adalah omnivora meski lebih banyak memakan sayur, buah-buahan dan akar-akaran. Orang pendek juga memangsa serangga seperti ulat pohon dan larva. “Tapi sepertinya dia tidak makan cabai,” kata Debbie lalu tertawa.
Kemudian tim juga mengumpulkan hasil wawancara dengan penduduk yang pernah bertemu makhluk itu. Narasumber ini macam-macam pekerjaannya, 57 persen petani, 18 persen pemburu atau pengumpul gaharu, 14 persen pegawai pemerintah, 4 persen ahli kehutanan dan lainnya sekitar 8 persen.
Ada variasi penampakan “orang pendek” di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.
Sementara warna bulu di badannya, umumnya berwarna coklat meski ada sedikit yang melihatnya kemerahan atau keemasan. Bulu di kepala lebih panjang dan tebal, sementara di bagian dada dan perut lebih tipis sehingga memperlihatkan warna kulit mereka.
Umumnya mereka ditemui sedang berjalan, kemudian makan, dan sedikit yang bertemu sedang berbaring. Sementara tinggi badan, ada yang melihat di bawah 1 meter, namun ada yang sampai 130 sentimeter. (Lihat Bagian 2—Infografik)
Narasumber ini tersebar di sepanjang Bukit Barisan dari utara Sumatera Barat sampai ke selatan Bengkulu, baik dari dataran rendah sampai pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Penamaannya pun beragam.
Di Sumatera Barat, “orang pendek” itu juga dikenal sebagai Si Bigau. Di Jambi sendiri, selain disebut Uhang Pandak (dialek lain dari ‘Orang Pendek’), juga disebut Antu Pandak dan Si Gugu.
William Marsden, yang menghabiskan masa mudanya di Sumatera antara tahun 1754 sampai 1836, sudah menyinggung soal Si Gugu ini dalam bukunya berjudul “History of Sumatra”. Dalam buku edisi tahun 1811, Marsden yang juga dari Inggris menceritakan bahwa di antara Palembang dan Jambi, ada dua suku yang hidup di hutan yakni suku Kubu dan Gugu. Gugu, dijelaskan Marsden, kecil dan berbulu di sekujur tubuhnya.
Seorang warga Sungai Penuh, Kerinci, Iskandar Zakaria, adalah salah satu warga yang percaya dengan keberadaan Orang Pendek. Di tahun 1990-an akhir, Iskandar yang kini berusia 71 tahun melihat betul Orang Pendek. Saat itu, Iskandar memang sengaja menjelajah hutan di kaki Kerinci dengan niat mencari makhluk legenda itu.
Di hari ketiga pencariannya, menjelang Subuh, Iskandar yang saat itu mau buang air besar di pinggir sungai di sebuah perkebunan melihat yang dicari-carinya. Orang Pendek terlihat turun dari bukit menuju sungai. "Saya terkejut dan hanya bisa diam saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan tepat di hadapan saya. Pada saat itu jaraknya hanya sekitar dua atau tiga meter saja dari saya," katanya.
"Pada saat melintas di depan saya, Uhang Pandak ini melirik saya. Kejadian itu cepat sekali. Karena, setelah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan lagi," katanya.
Dari pengamatan itulah, Iskandar menyatakan, wajah Orang Pendek sama sekali tidak menyerupai manusia. Sekujur tubuh mahluk dengan ketinggian sekitar 80 sentimeter ini ditutupi bulu seperti orangutan. Dan satu hal lagi, dia berjalan dengan telapak kaki ke depan, bukan terbalik seperti selama ini menjadi mitos di masyarakat
"Tempat tinggal Uhang Pandak ini semak rimbun. Makanannya kulit kayu yang ada di hutan. Karena, dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu," katanya.
Sekali patroli, para polisi hutan itu bisa berjalan kaki selama dua pekan, atau bahkan sebulan. “Mereka membawa makanan, dan juga tenda”, ujar juru bicara Taman Nasional Way Kambas, Sukatmoko kepada VIVAnews.
Tapi satu regu patroli di resor Rawa Bunder, Way Kanan, menemukan hal mengejutkan pada Ahad, 17 Maret 2013 lalu. Di petang hari itu, di saat tubuh mulai lelah, tujuh polisi hutan terperangah: ada sekelompok makhluk mirip manusia namun ukurannya lebih kecil melintas di rawa.
Mereka sontak terkesiap. Para polisi hutan dan kelompok “orang pendek” itu berhadap-hadapan dengan jarak sekitar 30 meter. Kaget, dan tak menyangka bersua makhluk aneh, para polisi hutan itu terpacak diam. Hening. Sekejap kemudian, gerombolan “orang pendek” itu berlari masuk ke dalam rimbun hutan. Hilang.
Barulah para polisi hutan sadar, seharusnya mereka mengabadikan gambar “orang-orang pendek” itu. Mereka hanya bisa mengingat “orang-orang pendek” itu bertelanjang, sebagian memegang kayu berbentuk tombak, dan bahkan ada yang menggendong bayi. Diduga saat itu, mereka sedang mencari ikan atau mencari air minum.
Penasaran dengan apa yang mereka lihat, tiga hari kemudian, grup itu kembali berpatroli di tempat sama. Tim sengaja memilih waktu persis saat mereka bertemu makhluk aneh, menjelang malam. Dan betul, “orang-orang pendek” yang dihitung lebih dari sepuluh orang itu terlihat lagi. “Suasana dan lokasinya sama saat petugas patroli melihat yang pertama dan yang kedua,” kata Sukatmoko. Namun, lagi-lagi, polisi kalah cepat memotret mereka.
Dari penampakan kedua ini, tim memastikan, penampilan “orang-orang pendek” itu seperti manusia purba. “Mereka tidak memakai baju, berambut gimbal panjang dan memegang tombak kayu panjang. Tidak bisa juga dibedakan yang masih dewasa atau anak-anak, namun petugas kami melihat ada di antaranya seperti yang perempuan sedang menggendong bayi,” Sukatmoko menambahkan.
Hari itu juga, polisi hutan Taman Nasional memasang 15 kamera pengintai bersensor inframerah di sekitar lokasi itu. Kamera ini biasa digunakan untuk menangkap gambar aktifitas satwa liar, dan bisa menangkap objek bergerak yang melewatinya baik siang maupun malam.
“Nanti kalau sudah ada bukti secara visual kami baru bisa bicara. Karena selama ini kami hanya mengandalkan bukti penglihatan mata petugas, maka kami saja belum berani melaporkannya ke kementerian kehutanan secara resmi,” kata Sukatmoko.
Ini sebetulnya bukan kali pertama “orang-orang pendek” itu terlihat. Pada 1995, satu regu pendaki di Gunung Singgalang pernah bersua dengan makhluk serupa yang dilihat para polisi hutan di Way Kambas. Denni, seorang anggota pendaki itu, menghubungi VIVAnews setelah berita temuan “orang-orang pendek” itu dimuat di media. “Saya pernah melihat ‘orang pendek’”, ujarnya.
Dia berkisah, pada suatu pagi, dia mendaki gunung setinggi 2.887 meter itu. Sekitar pinggang gunung, di sebuah kawasan yang agak datar, tiba-tiba Denni dan temannya kaget campur takjub melihat sepasang makhluk seperti monyet tapi berjalan dengan dua kaki. Tangannya mengayun khas seperti manusia. “Bulunya berwarna emas, berjalan tegak, berpegangan tangan,” kata Denni. Denni dan temannya berhenti berjalan, lalu mengamati.
Tinggi makhluk tak berekor itu sepinggangnya atau kira-kira 1 meter. Sepasang makhluk itu berjalan kira-kira 30 meter di dekat mereka berdua. Semua badannya berbulu, kecuali mukanya. Bulu di kepalanya sedikit lebih panjang. “Mukanya agak rata,” kata Denni.
Meski perawakan seperti manusia, namun bulu tipis di sekujur badannya membuatnya tampak lebih seperti monyet daripada manusia, kata Denni.
Karena tak pernah melihat makhluk macam itu sebelumnya, Denni yang menenteng kamera saku pun bergerak cepat hendak memotret. Namun seperti tahu mau dipotret, kedua makhluk itu bergerak lebih cepat, menghilang di balik rimbun pepohonan. Dia gagal mengambil gambar dari temuan langka itu.
“Orang Pendek” Kerinci
Tapi Deborah Martyr, perempuan peneliti asal Inggris yang beberapa kali menyaksikan ”orang pendek” di Taman Nasional Kerinci Seblat, meragukan makhluk yang dilihat polisi hutan di Way Kambas adalah “orang pendek” yang sama.
Debbie, begitu panggilan perempuan itu, menyatakan “orang-orang pendek” yang dilihatnya di sejumlah hutan di Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat umumnya soliter, tidak bergerombol lebih dari tiga orang.
“Saat melihat ‘orang pendek’, dia hanya sendiri. Tidak pernah saya melihat mereka berkelompok hingga belasan,” kata Pemimpin Tim Fauna & Flora International's Tiger Protection & Conservation Units di Sumatera itu. (Baca juga bagian 4—Wawancara Debbie Martyr)
Perkenalan Debbie dengan “orang pendek” dimulai dari tahun 1989, ketika dia saat itu bekerja sebagai jurnalis sebuah media di Inggris, dan berlibur ke kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat yang membentang di empat provinsi yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan.
Saat itu, Debbie mendengar kisah Orang Pendek. Dia pun penasaran. Namun baru tahun 1994, Debbie bersama Jeremy Holden dari Fauna dan Flora International-IP dan Achmad Yanuar dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Project Orang Pendek.
“Awalnya saya juga beranggapan sama, itu hanya mitos. Namun setelah melihat, saya yakin itu bukan mitos,” katanya saat diwawancara jurnalis VIVAnews, Eri Naldi dan Arjuna Nusantara, di kediamannya di Sungai Penuh, Jambi, Rabu 27 Maret 2013.
Debbie pertama kali melihat “orang pendek” tahun 1994 di kawasan Gunung Tujuh dan kemudian di Gunung Kerinci, masih di Taman Nasional Kerinci Seblat. Tahun 1995, saat memasuki bagian Sumatera Barat dari taman nasional itu, di Solok Selatan, kembali Debbie melihat makhluk soliter ini. Tahun itu juga dia kembali menyaksikan makhluk itu di hutan lindung di perbatasan Sumatera Barat dengan Sumatera Utara. Terakhir, pada 1996, Debbie melihatnya lagi di sebuah hutan produksi di Mukomuko, Bengkulu, dan di Tapan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Namun tak satu pun yang berhasil dipotretnya. Padahal mereka sudah memakai kamera pengintai paling canggih yang biasa memotret harimau sumatera. Alhasil, tim penelitian ini lebih banyak mengandalkan penelitian berdasarkan pandangan mata saksi, termasuk mereka sendiri.
“Badannya agak besar, tinggi sekitar 130 cm. Warna kulitnya madu tua, bulu di kepala sedikit tebal. Perawakan wajahnya hampir sama dengan orangutan tapi tidak mirip dengan manusia,” kata Debbie menceritakan ciri-cirinya, mirip seperti yang dilihat Denni di Gunung Singgalang.
Yanuar yang meraih gelar master dari Universitas Cambridge, Inggris, atas penelitian primata di Kerinci ini juga mengalami hal yang sama, hanya bisa melihat namun tak bisa mengabadikan gambar “orang pendek” ini. Bahkan Yanuar lebih dulu melihat “orang pendek” ini daripada Debbie. Kali pertama, seperti diungkapkannya dalam sebuah laporan terkait Project Orang Pendek, adalah di Provinsi Lampung di tahun 1993.
“Jelas sekali berjalan dengan dua kaki, memperlihatkan ayunan tangannya,” kata Yanuar. “Warna (bulu)nya coklat agak keemasan.”
Meski tak mendapatkan gambar meyakinkan, Project Orang Pendek ini berhasil mengumpulkan spesimen rambut, feses, jejak telapak kakinya, serta bentuk pemukimannya. Rambutnya kemudian ada yang dikirim ke Inggris untuk diekstrak DNA-nya. Jejak kaki juga dicetak, memperlihatkan lekuk seperti telapak kaki manusia, namun lebih pendek, lebih lebar dan jempolnya agak besar dan mencelat.
“Jempol menonjol keluar dan beban sepertinya dibagi rata untuk menghasilkan kombinasi kera besar dan manusia. Saya mencatat beberapa persamaan, berdasarkan bentuk kaki,” Yanuar menulis di laporan riset.
Satu kali, dalam riset lapangan, tim sempat mendapatkan feses segar “orang pendek”. Baunya seperti feses manusia. Analisis atas feses ini, disimpulkan orang pendek itu adalah omnivora meski lebih banyak memakan sayur, buah-buahan dan akar-akaran. Orang pendek juga memangsa serangga seperti ulat pohon dan larva. “Tapi sepertinya dia tidak makan cabai,” kata Debbie lalu tertawa.
Kemudian tim juga mengumpulkan hasil wawancara dengan penduduk yang pernah bertemu makhluk itu. Narasumber ini macam-macam pekerjaannya, 57 persen petani, 18 persen pemburu atau pengumpul gaharu, 14 persen pegawai pemerintah, 4 persen ahli kehutanan dan lainnya sekitar 8 persen.
Ada variasi penampakan “orang pendek” di mata narasumber riset. Ada yang melihatnya berjalan dengan empat kaki, tapi umumnya dua kaki. Tapi semuanya konsisten melihat makhluk ini berjalan di atas tanah, tak ada yang melayang dari pohon ke pohon seperti dilakukan kera, beruk atau orangutan.
Sementara warna bulu di badannya, umumnya berwarna coklat meski ada sedikit yang melihatnya kemerahan atau keemasan. Bulu di kepala lebih panjang dan tebal, sementara di bagian dada dan perut lebih tipis sehingga memperlihatkan warna kulit mereka.
Umumnya mereka ditemui sedang berjalan, kemudian makan, dan sedikit yang bertemu sedang berbaring. Sementara tinggi badan, ada yang melihat di bawah 1 meter, namun ada yang sampai 130 sentimeter. (Lihat Bagian 2—Infografik)
Narasumber ini tersebar di sepanjang Bukit Barisan dari utara Sumatera Barat sampai ke selatan Bengkulu, baik dari dataran rendah sampai pegunungan di atas 1.000 meter di atas permukaan laut. Penamaannya pun beragam.
Di Sumatera Barat, “orang pendek” itu juga dikenal sebagai Si Bigau. Di Jambi sendiri, selain disebut Uhang Pandak (dialek lain dari ‘Orang Pendek’), juga disebut Antu Pandak dan Si Gugu.
William Marsden, yang menghabiskan masa mudanya di Sumatera antara tahun 1754 sampai 1836, sudah menyinggung soal Si Gugu ini dalam bukunya berjudul “History of Sumatra”. Dalam buku edisi tahun 1811, Marsden yang juga dari Inggris menceritakan bahwa di antara Palembang dan Jambi, ada dua suku yang hidup di hutan yakni suku Kubu dan Gugu. Gugu, dijelaskan Marsden, kecil dan berbulu di sekujur tubuhnya.
Seorang warga Sungai Penuh, Kerinci, Iskandar Zakaria, adalah salah satu warga yang percaya dengan keberadaan Orang Pendek. Di tahun 1990-an akhir, Iskandar yang kini berusia 71 tahun melihat betul Orang Pendek. Saat itu, Iskandar memang sengaja menjelajah hutan di kaki Kerinci dengan niat mencari makhluk legenda itu.
Di hari ketiga pencariannya, menjelang Subuh, Iskandar yang saat itu mau buang air besar di pinggir sungai di sebuah perkebunan melihat yang dicari-carinya. Orang Pendek terlihat turun dari bukit menuju sungai. "Saya terkejut dan hanya bisa diam saja. Karena, Uhang Pandak itu berjalan tepat di hadapan saya. Pada saat itu jaraknya hanya sekitar dua atau tiga meter saja dari saya," katanya.
"Pada saat melintas di depan saya, Uhang Pandak ini melirik saya. Kejadian itu cepat sekali. Karena, setelah melintas di hadapan saya, Uhang Pandak hilang ke dalam hutan lagi," katanya.
Dari pengamatan itulah, Iskandar menyatakan, wajah Orang Pendek sama sekali tidak menyerupai manusia. Sekujur tubuh mahluk dengan ketinggian sekitar 80 sentimeter ini ditutupi bulu seperti orangutan. Dan satu hal lagi, dia berjalan dengan telapak kaki ke depan, bukan terbalik seperti selama ini menjadi mitos di masyarakat
"Tempat tinggal Uhang Pandak ini semak rimbun. Makanannya kulit kayu yang ada di hutan. Karena, dari yang saya temui di sekitar tempat tinggal Uhang Pandak ini banyak bekas kupasan kulit kayu," katanya.
Berburu ‘Hobbit’ di Gua Flores
VIVAnews - Pernyataan Dr. Debbie Argue mencengangkan hadirin di sebuah forum ilmiah. "Kami telah membandingkan (tengkorak) Homo florensiensis dengan hampir semua spesies yang satu gen dengan kita, manusia," ungkap Dr. Argue. "Mereka mirip seperti Australopithecine, yang diyakini sebagai genus Homo sebelum berevolusi jadi manusia modern (Homo sapiens)."
Argue membeberkan kisahnya satu dekade silam kala mengekskavasi Liang Bua di Flores. Ketika itu, bersama sejumlah rekan dalam tim penelitiannya, peneliti dari Departemen Arkeologi dan Antropologi di Australian National University (ANU) itu menggali jejak keberadaan manusia purba Homo florensiensis yang masih misterius.
Dan mereka nyaris tak percaya ketika menemukan jejak spesies manusia baru, yang diperkirakan hidup pada era Pleistosen itu, atau sekitar 2 juta - 12.000 Sebelum Masehi.
"Kita tahu bahwa Homo florensiensis telah berada di Flores, setidaknya dari 100 ribu tahun hingga 12 ribu tahun yang lalu," ucap Argue. "Tapi bukan tidak mungkin mereka pernah hidup bersama manusia modern. Setidaknya, 40 ribu tahun yang lalu juga ada Homo sapiens yang tersebar di Asia, Papua Nugini, dan Australia.”
"Inilah kenyataannya. Selama ini semua orang berpikir hanya spesies kita yang tersisa dan selamat sejak akhir Era Neanderthal, tapi ternyata tidak," ditandaskan oleh perempuan yang berkutat dengan jagat evolusi manusia sejak 1995 ini.
Semula, temuan Argue tak dipercaya banyak orang, termasuk oleh sejumlah arkeolog yang secara blak-blakan mengecam hasil penelitiannya. Mereka menuding yang ditemukan Argue hanyalah tengkorak manusia modern yang menderita kelainan microcephaly, atau mempunyai tengkorak dan otak berukuran lebih mungil dari standar manusia normal.
Debbie pantang mundur. Dia berteguh pada pendiriannya. Dia yakin temuannya bisa mengubah paradigma arkeologi, menjungkirbalikkan gagasan utama yang hidup saat ini bahwa Homo sapiens adalah satu-satunya gen manusia di Bumi, yang tersisa sejak kepunahan Homo erectus (1,8 juta - 300 ribu tahun lampau) dan Neanderthal (600 ribu - 350 ribu tahun lampau).
"Ini adalah ilmu. Memang bukan bukti definitif, tapi ini hipotesis yang sangat-sangat solid," dia berkukuh.
Belakangan, pengakuan pun datang. Hasil kerja keras Argue mendapat apresiasi dan dipublikasikan di Journal of Human Evolution.
***
Manusia kerdil. Sebagian ada yang memandangnya dari kacamata skeptis, cuma fiksi, bahkan takhayul. Tapi, banyak juga yang mempercayainya sebagai sesuatu yang nyata. Namun, memang sulit mengungkapkan wujud gen Homo satu ini. Ia masih tersimpan di gudang misteri, lantaran habitatnya tersembunyi di gua dan hutan belantara.
Di Indonesia, koloni orang cebol menyebar di Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Perawakannya pun berbeda-beda. Ada yang berbulu tebal, ada yang tak berdagu. Beberapa di antara mereka telah menyedot perhatian dari ilmuwan asing untuk datang membuktikan apakah manusia kerdil purba benar-benar pernah membangun peradabannya di Tanah Air. Atau, sebaliknya. Itu hanya mitos belaka.
Homo florensiensis
Habitat: Sekitar Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ciri-ciri: Tinggi badan 70 - 140 cm, berkulit gelap, rambut hitam, mata cekung, hidung pesek, gigi besar, berlengan panjang, tidak memiliki dagu, pergelangan tangan menyerupai gorila, dan ukuran kaki sangat panjang.
Spesies ini dikenal juga dengan sebutan Manusia Flores atau Hobbit. Nama itu diberikan para peneliti untuk genus Homo yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, dari serial subfosil sembilan individu berbeda yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan fragmen itu, yang diberi kode LB1 sampai LB9, menunjukkan ada postur manusia pendek yang tingginya cuma sepinggang manusia modern, atau sekitar 100 cm saja.
Pada September 2003, tim peneliti Indonesia dan tim Australia melakukan ekspedisi lanjutan. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan tim Australia dipimpin Mike Morwood dari Universitas New England.
Pada kedalaman lima meter, tim dikagetkan dengan temuan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil. Tulang-tulang itu tidak membatu, namun rapuh dan lembab. Ada sembilan individu, tapi tak ada yang bagian tubuhnya lengkap. Liang Bua diperkirakan merupakan pekuburan.
Melihat ukuran tengkorak dan tulang, serta kondisi kerangka yang tidak memfosil--juga temuan sisa-sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya-- usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94 ribu hingga 13 ribu tahun yang lalu, atau sebaya dengan Pithecantropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo, Jawa.
Menurut data Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, spesies ini mempunyai volume otak 400 cc; jauh lebih kecil dibandingkan volume otak manusia modern yang 1.400 cc. Namun, meski berotak mungil, mereka tidak terbelakang--justru boleh dianggap jenius. Di zaman itu, Homo florensiensis diyakini bisa memasak, membuat rakit, dan berburu mangsa besar, seperti stegodon atau gajah purba. Hal itu dibuktikan dengan bukti-bukti berupa artefak perkakas berburu yang terbuat dari batu dan kerangka sisa hewan mangsa.
Temuan itu dikukuhkan dengan kenyataan bahwa di sekitar Liang Bua, tepatnya di Dusun Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores, terdapat koloni penduduk yang berperawakan pendek, dengan tinggi badan maksimal 140 centimeter.
Mereka juga percaya bahwa fragmen Homo florensiensis yang ditemukan para ilmuwan itu adalah nenek moyang mereka. "Kami yakin mempunyai hubungan keturunan yang erat dengan mereka (Homo florensiensis), walau ilmuwan mengatakan usianya sekitar 18 ribu tahun," ujar salah seorang penduduk bernama Mattias Haru pada Aljazeera.
Namun, kepercayaan penduduk setempat itu dinilai tak berdasar oleh Wahyu Saptomo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada. "Saya pikir itu hanya fantasi mereka. Dari yang kami temukan, mereka bukan Homo floresiensis. Dari ukuran otak dan ciri-cirinya saja berbeda. Mereka sama seperti kita, Homo sapiens."
Kendati peneliti yakin bahwa yang mereka temukan adalah spesies baru genus Homo, sampai saat ini belum ada kajian ilmiah yang membandingkan Homo floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Suku Oni
Habitat: Sekitar Dekko Mappesangka Ponre, 60 km dari kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Ciri-ciri: tinggi badan rata-rata 70 cm, kulit mirip manusia, wajah keriput seperti orang tua, berbusana primitif dari kulit tenunan kayu.
Berbeda dengan Homo florensiensis, Suku Oni justru masih eksis di zaman modern. Mereka bukan tergolong manusia purba. Fisiknya menyerupai manusia normal, hanya saja berukuran tubuh seperti anak kecil. Hanya sepinggang manusia normal, bahkan lebih kecil.
Suku primitif ini tinggal bersembunyi di gua-gua di pegunungan Bone, Sulawesi Selatan. Konon, hidup mereka hanya bergantung pada buah-buahan yang ada di hutan sekitar pemukiman mereka. Lokasinya terpencil, seperti di Dusun Dekko Mappesangka Ponre, kurang lebih lima kilometer dari pemukiman warga.
Kepada Bugis Pos, Ahmad Lukman Mappasangka, mantan Kepala Desa Ponre, pernah memasuki pemukiman Suku Oni. "Itu adalah ketika saya terpilih sebagai kepala desa untuk pertama kalinya, sekitar 15 tahun yang lalu. Saya diundang oleh kepala suku mereka. Itu pun hanya satu kali. Saya pikir itu adalah bentuk apresiasi mereka terhadap saya sebagai kepala desa baru di wilayah mereka," ujar Ahmad.
Dia mengisahkan Suku Oni tinggal di dalam gua bermulut sempit. Hanya orang berbadan kecil yang bisa masuk ke dalamnya. Namun, di dalam gua, terdapat ruang yang luas dan terang.
"Mereka mempunyai furnitur alam. Ada kursi yang terbuat dari batu, juga perabotan rumah tangga lain, seperti piring, teko, cangkir, dan mangkuk yang bagus. Bahkan ada yang dilapisi emas. Piringnya terbuat dari keramik antik," Ahmad menambahkan.
Sayangnya, bahasa Suku Oni tidak dimengertinya. "Ketika itu, saya hanya menggunakan bahasa isyarat," kata Ahmad.
Bagi penduduk di sekitar pegunungan dan hutan di wilayah Ponre, keberadaan suku primitif ini sudah lama mereka kenali. Walau dibumbui kisah takhayul, warga di wilayah ini mengaku pernah melihat suku Oni, meski tidak bertegur sapa karena kendala bahasa. Buat sebagian warga yang tinggal di sekitar Desa Palet, Suku Oni bahkan diyakini sebagai makhluk setengah siluman.
Menilik riwayatnya, Suku Oni merupakan salah satu suku asli Bone, Sulawesi Selatan. Dahulu kala, mereka digunakan sebagai pekerja untuk membangun benteng kota dan irigasi kerajaan. Suku ini dikenal ulet, lincah, dan kuat. Menurut Ahmad, tak sedikit dari mereka yang dimanfaatkan sebagai mata-mata Raja Bone saat berperang melawan invasi Belanda.
Beberapa tahun terakhir, warga Suku Oni semakin jarang dilihat penduduk Desa Palet. Pemukiman mereka semakin terpencil dan tersembunyi. Sesekali saja mereka masih terlihat, di tengah malam, hanya untuk mengambil air, sembari membawa ember kayu dan obor. (kd)
Argue membeberkan kisahnya satu dekade silam kala mengekskavasi Liang Bua di Flores. Ketika itu, bersama sejumlah rekan dalam tim penelitiannya, peneliti dari Departemen Arkeologi dan Antropologi di Australian National University (ANU) itu menggali jejak keberadaan manusia purba Homo florensiensis yang masih misterius.
Dan mereka nyaris tak percaya ketika menemukan jejak spesies manusia baru, yang diperkirakan hidup pada era Pleistosen itu, atau sekitar 2 juta - 12.000 Sebelum Masehi.
"Kita tahu bahwa Homo florensiensis telah berada di Flores, setidaknya dari 100 ribu tahun hingga 12 ribu tahun yang lalu," ucap Argue. "Tapi bukan tidak mungkin mereka pernah hidup bersama manusia modern. Setidaknya, 40 ribu tahun yang lalu juga ada Homo sapiens yang tersebar di Asia, Papua Nugini, dan Australia.”
"Inilah kenyataannya. Selama ini semua orang berpikir hanya spesies kita yang tersisa dan selamat sejak akhir Era Neanderthal, tapi ternyata tidak," ditandaskan oleh perempuan yang berkutat dengan jagat evolusi manusia sejak 1995 ini.
Semula, temuan Argue tak dipercaya banyak orang, termasuk oleh sejumlah arkeolog yang secara blak-blakan mengecam hasil penelitiannya. Mereka menuding yang ditemukan Argue hanyalah tengkorak manusia modern yang menderita kelainan microcephaly, atau mempunyai tengkorak dan otak berukuran lebih mungil dari standar manusia normal.
Debbie pantang mundur. Dia berteguh pada pendiriannya. Dia yakin temuannya bisa mengubah paradigma arkeologi, menjungkirbalikkan gagasan utama yang hidup saat ini bahwa Homo sapiens adalah satu-satunya gen manusia di Bumi, yang tersisa sejak kepunahan Homo erectus (1,8 juta - 300 ribu tahun lampau) dan Neanderthal (600 ribu - 350 ribu tahun lampau).
"Ini adalah ilmu. Memang bukan bukti definitif, tapi ini hipotesis yang sangat-sangat solid," dia berkukuh.
Belakangan, pengakuan pun datang. Hasil kerja keras Argue mendapat apresiasi dan dipublikasikan di Journal of Human Evolution.
***
Manusia kerdil. Sebagian ada yang memandangnya dari kacamata skeptis, cuma fiksi, bahkan takhayul. Tapi, banyak juga yang mempercayainya sebagai sesuatu yang nyata. Namun, memang sulit mengungkapkan wujud gen Homo satu ini. Ia masih tersimpan di gudang misteri, lantaran habitatnya tersembunyi di gua dan hutan belantara.
Di Indonesia, koloni orang cebol menyebar di Pulau Sumatera, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Perawakannya pun berbeda-beda. Ada yang berbulu tebal, ada yang tak berdagu. Beberapa di antara mereka telah menyedot perhatian dari ilmuwan asing untuk datang membuktikan apakah manusia kerdil purba benar-benar pernah membangun peradabannya di Tanah Air. Atau, sebaliknya. Itu hanya mitos belaka.
Homo florensiensis
Habitat: Sekitar Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ciri-ciri: Tinggi badan 70 - 140 cm, berkulit gelap, rambut hitam, mata cekung, hidung pesek, gigi besar, berlengan panjang, tidak memiliki dagu, pergelangan tangan menyerupai gorila, dan ukuran kaki sangat panjang.
Spesies ini dikenal juga dengan sebutan Manusia Flores atau Hobbit. Nama itu diberikan para peneliti untuk genus Homo yang memiliki tubuh dan volume otak kecil, dari serial subfosil sembilan individu berbeda yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun 2001. Kesembilan fragmen itu, yang diberi kode LB1 sampai LB9, menunjukkan ada postur manusia pendek yang tingginya cuma sepinggang manusia modern, atau sekitar 100 cm saja.
Pada September 2003, tim peneliti Indonesia dan tim Australia melakukan ekspedisi lanjutan. Tim Indonesia dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan tim Australia dipimpin Mike Morwood dari Universitas New England.
Pada kedalaman lima meter, tim dikagetkan dengan temuan kerangka mirip manusia tetapi luar biasa kerdil. Tulang-tulang itu tidak membatu, namun rapuh dan lembab. Ada sembilan individu, tapi tak ada yang bagian tubuhnya lengkap. Liang Bua diperkirakan merupakan pekuburan.
Melihat ukuran tengkorak dan tulang, serta kondisi kerangka yang tidak memfosil--juga temuan sisa-sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya-- usia seri kerangka ini diperkirakan berasal dari 94 ribu hingga 13 ribu tahun yang lalu, atau sebaya dengan Pithecantropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo, Jawa.
Menurut data Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, spesies ini mempunyai volume otak 400 cc; jauh lebih kecil dibandingkan volume otak manusia modern yang 1.400 cc. Namun, meski berotak mungil, mereka tidak terbelakang--justru boleh dianggap jenius. Di zaman itu, Homo florensiensis diyakini bisa memasak, membuat rakit, dan berburu mangsa besar, seperti stegodon atau gajah purba. Hal itu dibuktikan dengan bukti-bukti berupa artefak perkakas berburu yang terbuat dari batu dan kerangka sisa hewan mangsa.
Temuan itu dikukuhkan dengan kenyataan bahwa di sekitar Liang Bua, tepatnya di Dusun Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores, terdapat koloni penduduk yang berperawakan pendek, dengan tinggi badan maksimal 140 centimeter.
Mereka juga percaya bahwa fragmen Homo florensiensis yang ditemukan para ilmuwan itu adalah nenek moyang mereka. "Kami yakin mempunyai hubungan keturunan yang erat dengan mereka (Homo florensiensis), walau ilmuwan mengatakan usianya sekitar 18 ribu tahun," ujar salah seorang penduduk bernama Mattias Haru pada Aljazeera.
Namun, kepercayaan penduduk setempat itu dinilai tak berdasar oleh Wahyu Saptomo, arkeolog dari Universitas Gadjah Mada. "Saya pikir itu hanya fantasi mereka. Dari yang kami temukan, mereka bukan Homo floresiensis. Dari ukuran otak dan ciri-cirinya saja berbeda. Mereka sama seperti kita, Homo sapiens."
Kendati peneliti yakin bahwa yang mereka temukan adalah spesies baru genus Homo, sampai saat ini belum ada kajian ilmiah yang membandingkan Homo floresiensis dengan kerangka manusia kerdil Flores yang menderita mikrosefali.
Suku Oni
Habitat: Sekitar Dekko Mappesangka Ponre, 60 km dari kota Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Ciri-ciri: tinggi badan rata-rata 70 cm, kulit mirip manusia, wajah keriput seperti orang tua, berbusana primitif dari kulit tenunan kayu.
Berbeda dengan Homo florensiensis, Suku Oni justru masih eksis di zaman modern. Mereka bukan tergolong manusia purba. Fisiknya menyerupai manusia normal, hanya saja berukuran tubuh seperti anak kecil. Hanya sepinggang manusia normal, bahkan lebih kecil.
Suku primitif ini tinggal bersembunyi di gua-gua di pegunungan Bone, Sulawesi Selatan. Konon, hidup mereka hanya bergantung pada buah-buahan yang ada di hutan sekitar pemukiman mereka. Lokasinya terpencil, seperti di Dusun Dekko Mappesangka Ponre, kurang lebih lima kilometer dari pemukiman warga.
Kepada Bugis Pos, Ahmad Lukman Mappasangka, mantan Kepala Desa Ponre, pernah memasuki pemukiman Suku Oni. "Itu adalah ketika saya terpilih sebagai kepala desa untuk pertama kalinya, sekitar 15 tahun yang lalu. Saya diundang oleh kepala suku mereka. Itu pun hanya satu kali. Saya pikir itu adalah bentuk apresiasi mereka terhadap saya sebagai kepala desa baru di wilayah mereka," ujar Ahmad.
Dia mengisahkan Suku Oni tinggal di dalam gua bermulut sempit. Hanya orang berbadan kecil yang bisa masuk ke dalamnya. Namun, di dalam gua, terdapat ruang yang luas dan terang.
"Mereka mempunyai furnitur alam. Ada kursi yang terbuat dari batu, juga perabotan rumah tangga lain, seperti piring, teko, cangkir, dan mangkuk yang bagus. Bahkan ada yang dilapisi emas. Piringnya terbuat dari keramik antik," Ahmad menambahkan.
Sayangnya, bahasa Suku Oni tidak dimengertinya. "Ketika itu, saya hanya menggunakan bahasa isyarat," kata Ahmad.
Bagi penduduk di sekitar pegunungan dan hutan di wilayah Ponre, keberadaan suku primitif ini sudah lama mereka kenali. Walau dibumbui kisah takhayul, warga di wilayah ini mengaku pernah melihat suku Oni, meski tidak bertegur sapa karena kendala bahasa. Buat sebagian warga yang tinggal di sekitar Desa Palet, Suku Oni bahkan diyakini sebagai makhluk setengah siluman.
Menilik riwayatnya, Suku Oni merupakan salah satu suku asli Bone, Sulawesi Selatan. Dahulu kala, mereka digunakan sebagai pekerja untuk membangun benteng kota dan irigasi kerajaan. Suku ini dikenal ulet, lincah, dan kuat. Menurut Ahmad, tak sedikit dari mereka yang dimanfaatkan sebagai mata-mata Raja Bone saat berperang melawan invasi Belanda.
Beberapa tahun terakhir, warga Suku Oni semakin jarang dilihat penduduk Desa Palet. Pemukiman mereka semakin terpencil dan tersembunyi. Sesekali saja mereka masih terlihat, di tengah malam, hanya untuk mengambil air, sembari membawa ember kayu dan obor. (kd)
• ParadiseBOX
wow, sangat menarik ternyata mempelajari sejarah
ReplyDelete