LuckyDelapan News.
Kerajaan Khmer saat ini terpecah-pecah menjadi beberapa negara.
VIVAnews - Misteri lenyapnya Kerajaan Khmer yang dikenal sebagai Kebudayaan Angkor terungkap. Sekumpulan peneliti menemukan jawaban runtuhnya kekaisaran yang pernah berkuasa selama berabad-abad di kawasan Asia Tenggara itu.
Saat ini, Kebudayaan Angkor terpecah-pecah menjadi beberapa negara, seperti Kamboja, Thailand, Laos, dan Vietnam. Yang tersisa dari kebudayaan itu saat ini hanyalah bengunan raksasa, jalan, kanal, saluran, dan penampungan air yang berfungsi mencukupi kebutuhan masyarakat pada waktu itu.
Laman physorg melaporkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan mengindikasikan Kebudayaan Angkor lenyap setelah mengalami kekeringan. Para peneliti yang dipimpin oleh Mary Beth Day, seorang ilmuwan ahli bumi dari Universitas Cambridge, juga mempublikasikan temuan mereka pada laporan Proceedings of the National Academy of Sciences.
Kerajaan Khmeer sendiri berdiri pada abad ke-9 hingga abad ke-15 dan berpusat pada Kota Angkor. Masyarakat Kota Angkor menampung air dalam jumlah yang sangat banyak selama musim hujan untuk keperluan sehari-hari seperti minum dan menggarap lahan sepanjang tahunnya. Sistem itu bekerja dalam jangka waktu sangat lama, namun tiba-tiba lenyap.
Alasan lenyapnya sistem itu secara tiba-tiba bisa bermacam-macam. Misalnya perang, wabah penyakit yang melanda, perselisihan antar masyarakat, hingga berubahnya kondisi lingkungan. Alasan itu kini terjawab dalam penelitian terakhir, setidaknya menjadi faktor dominan lenyapnya Kebudayaan Angkor, yaitu faktor lingkungan.
Untuk menemukan masalah kekurangan air karena perubahan lingkungan, para peneliti mengambil contoh tanah pada penampung air terbesar --yang sering disebut barays-- yang dibangun rakyat Angkor. Dengan menggali sedalam enam kaki, tim ini menemukan bahwa kekeringan yang berkepanjangan dan --mungkin-- penggunaan lahan yang berlebihan untuk pertanian telah menyebabkan masyarakat di sini tidak mampu lagi menghasilkan makanan.
Saat mempelajari sampel tanah yang diambil itu, tim peneliti mampu melihat deposit sedimen di bagian bawah barays telah terbentuk dalam jangka waktu lama. Tahun-tahun menjelang 1431, lapisan tipis menunjukkan air yang bisa ditampung dalam barays hanya sedikit. Ini juga menunjukkan curah hujan tidak menentu.
Alih-alih menampung air selama musim hujan, badai besar yang menyebabkan banjir merusak lahan melanda dan tanah yang dibawa banjir itu menimbun barays. Bencana itu diikuti dengan periode tanpa hujan sama sekali. Hasilnya, tidak banyak air yang tersedia untuk minum dan bercocok tanam selama musim kering.
Penelitian baru ini tidak menyatakan fakta bahwa kekeringan menjadi satu-satunya faktor runtuhnya Kerajaan Khmer. Karena ada faktor lain yang terlibat. Seperti perang dengan tetangga, banyaknya penduduk yang beralih memeluk agama Budha, dan perubahan alam akibat meningkatnya perdagangan dengan negara lain, semua faktor itu mungkin memiliki peran. (umi)
• VIVAnewsSaat ini, Kebudayaan Angkor terpecah-pecah menjadi beberapa negara, seperti Kamboja, Thailand, Laos, dan Vietnam. Yang tersisa dari kebudayaan itu saat ini hanyalah bengunan raksasa, jalan, kanal, saluran, dan penampungan air yang berfungsi mencukupi kebutuhan masyarakat pada waktu itu.
Laman physorg melaporkan, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan mengindikasikan Kebudayaan Angkor lenyap setelah mengalami kekeringan. Para peneliti yang dipimpin oleh Mary Beth Day, seorang ilmuwan ahli bumi dari Universitas Cambridge, juga mempublikasikan temuan mereka pada laporan Proceedings of the National Academy of Sciences.
Kerajaan Khmeer sendiri berdiri pada abad ke-9 hingga abad ke-15 dan berpusat pada Kota Angkor. Masyarakat Kota Angkor menampung air dalam jumlah yang sangat banyak selama musim hujan untuk keperluan sehari-hari seperti minum dan menggarap lahan sepanjang tahunnya. Sistem itu bekerja dalam jangka waktu sangat lama, namun tiba-tiba lenyap.
Alasan lenyapnya sistem itu secara tiba-tiba bisa bermacam-macam. Misalnya perang, wabah penyakit yang melanda, perselisihan antar masyarakat, hingga berubahnya kondisi lingkungan. Alasan itu kini terjawab dalam penelitian terakhir, setidaknya menjadi faktor dominan lenyapnya Kebudayaan Angkor, yaitu faktor lingkungan.
Untuk menemukan masalah kekurangan air karena perubahan lingkungan, para peneliti mengambil contoh tanah pada penampung air terbesar --yang sering disebut barays-- yang dibangun rakyat Angkor. Dengan menggali sedalam enam kaki, tim ini menemukan bahwa kekeringan yang berkepanjangan dan --mungkin-- penggunaan lahan yang berlebihan untuk pertanian telah menyebabkan masyarakat di sini tidak mampu lagi menghasilkan makanan.
Saat mempelajari sampel tanah yang diambil itu, tim peneliti mampu melihat deposit sedimen di bagian bawah barays telah terbentuk dalam jangka waktu lama. Tahun-tahun menjelang 1431, lapisan tipis menunjukkan air yang bisa ditampung dalam barays hanya sedikit. Ini juga menunjukkan curah hujan tidak menentu.
Alih-alih menampung air selama musim hujan, badai besar yang menyebabkan banjir merusak lahan melanda dan tanah yang dibawa banjir itu menimbun barays. Bencana itu diikuti dengan periode tanpa hujan sama sekali. Hasilnya, tidak banyak air yang tersedia untuk minum dan bercocok tanam selama musim kering.
Penelitian baru ini tidak menyatakan fakta bahwa kekeringan menjadi satu-satunya faktor runtuhnya Kerajaan Khmer. Karena ada faktor lain yang terlibat. Seperti perang dengan tetangga, banyaknya penduduk yang beralih memeluk agama Budha, dan perubahan alam akibat meningkatnya perdagangan dengan negara lain, semua faktor itu mungkin memiliki peran. (umi)
0 comments:
Post a Comment