• LuckyDelapan News
Cita-cita gadis pendiam ini tak muluk, menjadi guru. Namun, untuk kuliah ia tak mampu.
VIVAnews -- Gadis berambut sebahu itu pendiam, tak banyak yang mengenalnya, hingga ujian nasional diumumkan. Mutiarani, nama siswi itu, meraih nilai tertinggi tingkat nasional.
Siswi SMK 2 Semarang meraih total nilai 38,60. Dengan rincian, Bahasa Indonesia nilainya 9,8, Bahasa Inggris 9,8, Matematika 10, dan Kompetensi Akutansi 9,0.
"Saya tidak menduga kalau mendapatkan hasil nilai tertinggi dalam UAN ini. Saya sangat senang karena membuat Ibu bangga," kata Mutiarani dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa 29 Mei 2012 di Yogyakarta.
Dengan prestasinya itu, Mutiarani berharap bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kuliah di perguruan tinggi jurusan Akuntansi. Namun, itu tak mudah.
Biaya menjadi ganjalan utama. Ayahnya, Juwarto meninggal dunia tahun 2007 lalu akibat sakit ginjal. Sementara, sang ibu hanya berpenghasilan Rp600 ribu perbulan sebagai penjaga rumah merangkap pembantu rumah tangga. Jumlah rupiah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara dua kakaknya bekerja di sektor informal, dengan gaji tak seberapa.
"Dangan kondisi keuangan Ibu yang hanya bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, tidak mungkin saya bisa melanjutkan sekolah biaya dari Ibu. Saya hanya bisa berharap bisa dapat beasiswa," ucapnya.
Mutiarani, mengaku pernah punya angan-angan kuliah di perguruan tinggi ternama mengambil Jurusan Akuntansi, seperti UGM dan UI. Namun, niat itu diurungkannya dengan pertimbangan takut sang Ibu kesepian di rumah pasca ditinggal wafat oleh sang Ayah.
"Jika nanti saya mendapat kesempatan untuk kuliah, saya penginnya di dekat rumah (Semarang) saja supaya tetap dekat dengan Ibu dan kakak saya. Kami berempat saja, saya, Ibu dan dua kakak perempuan saya di rumah sudah sepi, apa lagi kalau hanya bertiga, ibu pasti akan kesepian nanti," tuturnya.
Impian Mutiarani tak muluk-muluk, ia hanya ingin menjadi guru. "Cita-cita saya itu pesan dari almarhum bapak saya yang telah wafat tahun 2007 silam, beliau ingin saya menjadi guru," kata dia, dengan air mata mengambang.
Sutarmi, 58 tahun, ibu Mutiarani mengaku sangat senang dan bangga dengan prestasi putri bungsunya. Walaupun tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, dirinya tetap berdoaa semoga ada jalan supaya putrinya bisa melanjutkan pendidikannya tersebut.
"Saya sangat senang dan bangga dia berprestasi, tapi untuk melanjutkan kuliah saya tidak punya biaya. Saya hanya bisa berdoa semoga anak saya bisa kuliah," imbuhnya.
Sutarmi, menceritakan, bahwa sejak dibangku SD puterinya selalu berprestasi di sekolah. "Sejak dia SD saya hanya berpesan kepada anak saya supaya semangat belajar," kata dia.
Sementara itu, Supriyanto, Kepala Sekolah SMK 2 Semarang mengatakan, Maharani adalah murid yang pendiam dan tekun belajar kalau disekolah. "Sejak kelas 1 sampai kelas III dia selalu juara kelas, kadang juara 2 dan kadang juara 3," ungkapnya.
Siswi SMK 2 Semarang meraih total nilai 38,60. Dengan rincian, Bahasa Indonesia nilainya 9,8, Bahasa Inggris 9,8, Matematika 10, dan Kompetensi Akutansi 9,0.
"Saya tidak menduga kalau mendapatkan hasil nilai tertinggi dalam UAN ini. Saya sangat senang karena membuat Ibu bangga," kata Mutiarani dalam perbincangan dengan VIVAnews, Selasa 29 Mei 2012 di Yogyakarta.
Dengan prestasinya itu, Mutiarani berharap bisa melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, kuliah di perguruan tinggi jurusan Akuntansi. Namun, itu tak mudah.
Biaya menjadi ganjalan utama. Ayahnya, Juwarto meninggal dunia tahun 2007 lalu akibat sakit ginjal. Sementara, sang ibu hanya berpenghasilan Rp600 ribu perbulan sebagai penjaga rumah merangkap pembantu rumah tangga. Jumlah rupiah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara dua kakaknya bekerja di sektor informal, dengan gaji tak seberapa.
"Dangan kondisi keuangan Ibu yang hanya bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga, tidak mungkin saya bisa melanjutkan sekolah biaya dari Ibu. Saya hanya bisa berharap bisa dapat beasiswa," ucapnya.
Mutiarani, mengaku pernah punya angan-angan kuliah di perguruan tinggi ternama mengambil Jurusan Akuntansi, seperti UGM dan UI. Namun, niat itu diurungkannya dengan pertimbangan takut sang Ibu kesepian di rumah pasca ditinggal wafat oleh sang Ayah.
"Jika nanti saya mendapat kesempatan untuk kuliah, saya penginnya di dekat rumah (Semarang) saja supaya tetap dekat dengan Ibu dan kakak saya. Kami berempat saja, saya, Ibu dan dua kakak perempuan saya di rumah sudah sepi, apa lagi kalau hanya bertiga, ibu pasti akan kesepian nanti," tuturnya.
Impian Mutiarani tak muluk-muluk, ia hanya ingin menjadi guru. "Cita-cita saya itu pesan dari almarhum bapak saya yang telah wafat tahun 2007 silam, beliau ingin saya menjadi guru," kata dia, dengan air mata mengambang.
Sutarmi, 58 tahun, ibu Mutiarani mengaku sangat senang dan bangga dengan prestasi putri bungsunya. Walaupun tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi, dirinya tetap berdoaa semoga ada jalan supaya putrinya bisa melanjutkan pendidikannya tersebut.
"Saya sangat senang dan bangga dia berprestasi, tapi untuk melanjutkan kuliah saya tidak punya biaya. Saya hanya bisa berdoa semoga anak saya bisa kuliah," imbuhnya.
Sutarmi, menceritakan, bahwa sejak dibangku SD puterinya selalu berprestasi di sekolah. "Sejak dia SD saya hanya berpesan kepada anak saya supaya semangat belajar," kata dia.
Sementara itu, Supriyanto, Kepala Sekolah SMK 2 Semarang mengatakan, Maharani adalah murid yang pendiam dan tekun belajar kalau disekolah. "Sejak kelas 1 sampai kelas III dia selalu juara kelas, kadang juara 2 dan kadang juara 3," ungkapnya.
• LuckyDelapan News
0 comments:
Post a Comment