LuckyDelapan News
Gajah perang adalah
gajah yang digunakan untuk
berperang dalam
sejarah militer di banyak negara di dunia pada zaman dahulu. Kegunaan gajah perang adalah untuk kendaraan dalam perang serta untuk mematahkan barisan dan menginjak-injak musuh. Penggunaan gajah dalam perang pertama kali dilakukan di
India, ketika gajah disediakan sebagai salah satu sayap dari empat sayap dalam militer India.
Penggunaan gajah perang kemudian menyebar ke
Asia Tenggara dan ke barat di daerah
Mediterania. Pada masa
Peradaban Hellenis, gajah digunakan oleh
Diadokhoi untuk menangkis serangan
kavaleri. Di
barat, penggunaan gajah untuk perang yang paling terkenal adalah oleh Jenderal
Pirros. Gajah perang dalam jumlah besar juga digunakan oleh pasukan
Kartago, terutama di bawah kepemimpinan
Hannibal.
Seiring perkembangan zaman,
taktik perang yang semakin modern ikut menurunkan nilai ofensif gajah. Selain itu, gajah pun semakin sulit didapat. Penggunaan gajah dalam perang di India juga berakhir ketika
meriam dipergunakan, gajah pun hanya digunakan sebagai tenaga pembantu.
Dalam semua perang yang memakai gajah, umumnya gajah jantan selalu digunakan karena sifatnya yang agresif.
Jenis gajah pertama yang dijinakkan adalah
gajah Asia, yang dipergunakan untuk kegiatan pertanian. Penjinakan gajah—bukan sepenuhnya
domestikasi, karena gajah masih ditangkap di alam liar dan belum dibiakkan secara sengaja—kemungkinan dimulai di tempat-tempat berikut ini. Di
India, sekitar tahun 2000 SM pada masa
Peradaban Lembah Sungai Indus, gajah mulai dijinakkan.
[2] Di
Mesopotamia pada waktu yang kurang lebih sama, gajah juga diperkirakan mulai dijinakkan. Tempat lainnya adalah di
Cina, tempat bukti-bukti arkeologis menunjukkan adanya gajah liar di lembah
Sungai Kuning pada masa
Dinasti Shang (1600-1100 SM). Ini memunculkan dugaan Cina sebagai tempat awal penjinakkan gajah.
[3] Populasi gajah liar di Mesopotamia dan Cina berkurang secara drastis karena penebangan hutan dan meledaknya populasi manusia. Pada 850 SM, gajah Mesopotamia punah, dan pada 500 SM gajah Cina tinggal sedikit dan hanya terdapat di daerah selatan Sungai Kuning.
Menangkap gajah dari alam liar merupakan tugas yang sulit, namun cara ini diperlukan karena metode pembiakan memakan waktu yang lama untuk menghasilkan gajah dewasa yang siap tempur. Secara umum, gajah yang digunakan dalam perang adalah gajah jantan karena mereka lebih agresif. Selain itu, gajah betina dalam perang akan kabur dari gajah jantan, sehingga hanya gajah jantan yang dapat digunakan dalam perang, sedangkan gajah betina digunakan untuk keperluan
logistik.
[4]
Tidak ada bukti pasti mengenai kapan persisnya gajah perang mulai digunakan. Himne religius
Weda India terawal.
Rigweda, bertahun antara akhir milenium kedua dan awal milenium pertama SM, menyebutkan tentang penggunaan gajah sebagai kendaraan—tepatnya dewa
Indra yang mengendarai gajah putihnya,
Airawata—namun tidak disebutkan mengenai penggunaan gajah dalam perang, dan lebih berfokus pada peran Indra dalam memimpin pasukan berkuda.
[5] Sementara dalam kisah
Mahabharata, yang berasal dari sekitar abad kedelapan SM dalam bentuk terawalnya, dan
Ramayana, yang berasal dari sekitar abad keempat SM,
[6] menyebutkan adanya gajah perang, mengindikasikan awal penggunaan gajah dalam perang.
[7] Raja-raja India kuno sangat memandang tinggi fungsi gajah perang. Beberapa raja bahkan berpendapat bahwa pasukan tanpa gajah sama lemahnya dengan hutan tanpa singa, kerajaan tanpa raja, keberanian tanpa senjata.
[8]
Dari
India, penggunaan gajah dalam militer menyebar ke barat ke
Kekaisaran Persia. Di sana gajah perang digunakan dalam beberapa kampanye militer dan pada gilirannya ikut memengaruhi kampanye militer
Aleksander yang Agung. Konfrontasi pertama antara pasukan Aleksander dan gajah perang Persia terjadi pada
Pertempuran Gaugamela (331 SM) saat Persia mengerahkan lima belas gajah perang.
[9] Gajah-gajah tersebut ditempatkan di bagian tengah barisan Persia dan cukup membuat
pasukan Makedonia terkejut, sampai-sampai Aleksander merasa harus memberi kurban pada Dewa Rasa Takut pada malam sebelum pertempuran. Namun menurut beberapa sumber, gajah-gajah itu tidak banyak terlibat dalam pertempuran karena terlalu lelah setelah melakukan perjalanan panjang menuju medan pertempuran.
[10] Aleksander menang secara meyakinkan di Gaugamela, namun dia sangat terpukau pada gajah perang Persia. Dia pun kemudian mengambil lima belas gajah perang tersebut dan memasukkannya ke dalam pasukannya dan jumlah itu bertambah ketika Aleksander menaklukan sisa wilayah Persia.
[sunting] Aleksander yang Agung
Ketika Aleksander yang Agung memasuki daerah India, dia sudah memiliki pasukan gajah perang di bawah komandonya sendiri. Di India, Aleksander harus menghadapi pasukan
Raja Porus, yang berkuasa di daerah
Punjab di
Pakistan modern. Raja Porus mengerahkan antara 85 sampai 100 gajah perang
[11][12] pada
Pertempuran Sungai Hydaspes. Aleksander melawan dengan hanya mengerahkan pasukan infantri dan kavalerinya, yang pada akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Porus, termasuk pasukan gajahnya, meskipun korban juga berjatuhan di pihak Aleksander. Aleksander terus melaju ke timur sampai dia mengetahui bahwa raja-raja di
Kekaisaran Nanda dan
Gangaridai mampu mengerahkan antara 3.000 sampai 6.000 gajah perang. Jumlah ini jauh lebih besar daripada pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan Yunani ataupun Persia. Menghadapi kekuatan sebesar ini, pasukan Aleksander, yang jauh lebih sedikit, akhirnya memilih untuk menghentikan pergerakan mereka di India.
[13] Sepulangnya dari India, Aleksander membentuk suatu pasukan gajah untuk menjaga istananya di
Babilonia, dan membuat pos
elephantarch untuk memimpin unit gajahnya.
[10]
Penggunaan gajah dalam perang terus menyebar. Para penerus kekaisaran Aleksander, yaitu para
Diadokhoi, menggunakan ratusan gajah India dalam perang mereka. Penggunaan gajah perang oleh Diadokhoi yang paling terkenal adalah oleh
Kekaisaran Seleukos, yang memperoleh gajah perangnya dari India. Perang antara Kekaisaran Seleukos dengan
Chandragupta Maurya (Sandrokottos), pendiri Kekaisaran
Maurya, pada 305 SM berakhir dengan penyerahan wilayah timur Seleukos yang cukup luas, yang ditukar dengan 500 ekor gajah perang India.
[14] Jumlah tersebut relatif kecil dibandingkan keseluruhan pasukan gajah
Maurya, yang disebut-sebut mencapai 9.000 ekor gajah perang.
[15] Seleukos menggunakan gajah perang mereka pada
Pertempuran Ipsos empat tahun kemudian. Kekaisaran Seleukos juga menggunakan gajah perang untuk menghentikan
Pemberontakan Makabim di
Judea. Ketika itu, gajah-gajah perang berhasil membuat para prajurit
Yahudi, yang menggunakan senjata yang lebih sederhana, ketakutan.
Eleazar Makkabeus, pria termuda di antara
Hasmonean bersaudara, berhasil membunuh seekor gajah perang dalam
Pertempuran Beth Zakaria. Dia menusuk perut sang gajah dengan tombaknya sebelum akhirnya dia mati tertindih oleh badan gajah tersebut. Dia menyerang gajah tersebut karena secara salah mengira bahwa gajah itu mengangkut
Antiokhos V, raja Seleukos.
[16] Meskipun dia keliru dan akhirnya mati, tindakannya menjadi terkenal.
Bangsa
Mesir dan
Kartago juga menggunakan
gajah untuk perang, seperti yang dilakukan oleh bangsa
Numidia dan
Kush. Jenis gajah yang digunakan adalah
gajah hutan Afrika Utara (
Loxodonta africana pharaohensis), yang kelak punah akibat
eksploitasi yang berlebihan.
[17] Gajah jenis ini berukuran lebih kecil dibandingkan gajah yang digunakan oleh Kekaisaran Seleukos di daerah timur Mediterania, khususnya
gajah dari Suriah (
Elephas maximus asurus) yang tingginya mencapai 2,5-3,5 meter (8–10 kaki) sampai ke pundak. Ada kemungkinan bahwa beberapa gajah Suriah diperdagangkan ke daerah-daerah di sekitarnya. Pendapat ini didukung oleh bukti yang menunjukkan bahwa gajah favorit
Hannibal dinamai
Surus (
dari Suriah) dan kemungkinan berasal dari Suriah. Meskipun begitu, bukti ini tidak terlalu meyakinkan.
[18]
Sejak akhir 1940-an, beberapa sejarawan berpendapat bahwa gajah hutan Afrika yang digunakan oleh Numidia,
Kartago, dan Mesir tidak membawa
rengga (tempat duduk) atau
menara kecil di punggungnya dalam pertempuran, mungkin karena fisiknya yang tidak sekuat gajah Asia.
[19] Beberapa referensi mengenai keberadaan rengga pada gajah perang Afrika hanyalah penggambaran puitis dan anakronistis, namun beberapa sumber lainnya juga tidak bisa begitu saja diabaikan. Ada kesaksian kontemporer yang secara jelas menyebutkan bahwa pasukan
Juba I dari Numidia menggunakan gajah yang berengga pada 46 SM.
[20] Pendapat ini dididukung oleh gambar gajah Afrika berengga pada koin
Juba II.
[21] Rengga juga diceritakan ada pada pasukan Ptolemaios dari Mesir.
Polybius melaporkan bahwa dalam
Pertempuran Raphia pada 217 SM, gajah-gajah perang milik
Ptolemaios IV membawa rengga; gajah-gajah ini jauh lebih kecil daripada gajah Asia yang digunakan oleh Kekaisaran Seleukos dan kemungkinan juga gajah hutan Afrika.
[22] Juga ada bukti bahwa gajah perang Kartago dilengkapi dengan rengga atau menara kecil untuk keperluan militer tertentu.
[23].
Di daerah selatan, suku-suku tertentu memiliki akses terhadap
gajah Sabana Afrika (
Loxodonta africana oxyotis). Gajah jenis ini berukuran lebih besar dibandingkan gajah hutan Afrika atau gajah Asia, namun hewan ini sukar dijinakkan dan karena itu tidak banyak digunakan dalam perang. Ukuran tidak selalu menjadi faktor yang menentukan. Contohnya, gajah yang digunakan oleh
Mesir dalam
Pertempuran Raphia pada 217 SM lebih kecil daripada gajah Asia milik lawan mereka,
Antiokhos III yang Agung dari Suriah. Namun, pada akhirnya pasukan Mesirlah yang berhasil menang. Beberapa gajah Asia diperdagangkan ke barat, tepatnya ke pasar Mediterania;
Plinius Tua menyebutkan bahwa gajah Sri Lanka, misalnya, lebih besar, lebih galak, dan dengan demikian lebih baik dalam perang jika dibandingkan gajah lokal. Keunggulan ini, serta dekatnya pasokan ke pelabuhan, membuat gajah Sri Lanka menjadi komoditas perdagangan yang menguntungkan.
[24]
Meskipun penggunaan gajah perang di Mediterania paling sering dihubungan dengan perang antara
Kartago dan
Romawi, namun gajah perang pertama kali diperkenalkan ke Mediterania oleh salah satu kerajaan di Yunani, yaitu
Epiros. Raja
Pirros dari Epiros membawa serta dua puluh ekor gajah untuk menyerang Romawi dalam
Pertempuran Herakleia pada 280 SM. Dia meninggalkan lima puluh ekor gajah lainnya, yang dipinjam dari Firaun
Ptolemaios II, di daratan utama Yunani. Ketika itu pasukan Romawi tidak siap menghadapi pasukan gajah dan pasukan Yunani sukses mengalahkan mereka. Setahun kemudian, Yunani kembali mengerahkan pasukan gajah untuk menghadapi Romawi dalam
Pertempuran Asculum. Kali ini pasukan Romawi sudah bersiap-siap dengan menggunakan api serta senjata antigajah, yaitu
kereta perang yang ditarik
kerbau dan dilengkapi dengan tombak panjang untuk melukai gajah dan api untuk menakuti gajah serta dikawal oleh pasukan bersenjata tombak untuk mengusir gajah. Serangan terakhir gajah Yunani pada akhirnya berhasil mengalahkan pasukan Romawi lagi. Namun, meskipun menang, Pirros menderita kerugian yang sangat besar, sampai-sampai dia berkata bahwa walaupun sekali lagi dia menang, pasukannya tetap akan dihancurkan oleh Romawi. Ungkapan ini kemudian terkenal sebagai istilah yang disebut
Kemenangan Piris.
Hannibals Elefanten auf Flößen (1890) oleh
Henri Paul Motte, menggambarkan pasukan gajah
Hannibal yang menyeberangi sungai dalam perjalanannya untuk menyerang
Romawi.
Terilhami oleh kehebatan gajah perang, Kartago pun mulai menggunakan gajah perang secara besar-besaran pada
Perang Punisia Pertama. Namun, hasilnya kurang memuaskan. Dalam
Pertempuran Adys pada 255 SM, gajah perang Kartago menjadi kurang efektif karena medannya kurang menguntungkan. Sedangkan dalam
Pertempuran Panormus pada 251 SM, pasukan Romawi berhasil menakut-nakuti gajah perang Kartago, sehingga hewan-hewan tersebut kabur dari medan tempur. Pada
Perang Punisia Kedua,
Hannibal memimpin pasukan gajah perang menyeberangi pegunungan
Alpen, meskipun pada akhirnya sebagian besar gajah itu mati karena kondisi lingkungan di sana. Pasukan Romawi sendiri telah mengembangkan taktik anti-gajah perang, yang berujung pada kemenangan Romawi atas Hannibal dalam
Pertempuran Zama pada 202 SM. Ketika itu gajah perang Hannibal menjadi tidak efektif karena begitu disiplinnya pasukan
manipulus Romawi, yang membiarkan gajah perang Hannibal lewat begitu saja.
Pada akhir
Perang Punisia, Romawi mengambil banyak gajah perang Kartago dan menggunakannya untuk keperluan militer mereka sendiri. Ketika menaklukan Yunani, Romawi mulai mengerahkan pasukan gajah perang, termasuk di antaranya pada Invasi
Makedonia pada 199 SM,
Pertempuran Kinoskefalai pada 197 SM,
[25] pertempuran Thermopilai,
[26] dan
Pertempuran Magnesia pada 190 SM, saat lima puluh gajah perang
Antiokhos III menghadapi enam belas gajah perang Romawi. Bertahun-tahun kemudian, Romawi mengerahkan dua puluh dua gajah perang dalam
Pertempuran Pidna pada 168 SM.
[27] Gajah perang juga digunakan oleh Romawi dalam kampanye militer melawan bangsa
Keltiberia dan
Galia. Yang paling terkenal adalah ketika Romawi menggunakan gajah perang dalam
Invasi Britania. Satu penulis kuno menyebutkan bahwa "Caesar memiliki seekor gajah yang besar, yang dilengkapi dengan baju perang dan membawa menara kecil, yang ditempati oleh pemanah dan pelempar batu. Ketika hewan tak dikenal ini menyeberangi sungai, pasukan Briton dan kuda-kuda mereka kabur melarikan diri.'
[28] Akan tetapi, dia mungkin salah membedakan gajah tersebut dengan gajah serupa yang digunakan pada
penaklukan terakhir Britania oleh
Claudius. Setidaknya satu kerangka gajah dengan senjata batu api ditemukan di Inggris dan awalnya dikira sebagai gajah Romawi, meskipun kemudian terbukti sebagai kerangka
mammoth dari
Zaman batu.
[29]
Pada masa Claudius, penggunaan gajah perang mulai berkurang. Penggunaan terakhir gajah perang yang signifikan di Mediterania terjadi dalam
Pertempuran Thapsus, 46 SM. Ketika itu
Julius Caesar mempersenjatai
legion kelimanya (
Alaudae) dengan kapak dan dia memerintahkan pasukannya untuk menyerang kaki gajah perang yang dikerahkan oleh Romawi. Pasukan Caesar pun meraih kemenangan. Pertempuran Thapsus merupakan penggunaan terakhir gajah perang yang signifikan di Romawi.
[30]
Kekaisaran Parthia di
Persia beberapa kali menggunakan gajah perang dalam perang melawan
Kekaisaran Romawi. Sementara di
Kekaisaran Sassaniyah, yang merupakan penerus Kekaisaran Parthia, gajah perang merupakan komponen militer yang penting.
[31] Kekaisaran Sassaniyah mengerahkan gajah perang dalam kampanye-kampanye militer mereka melawan musuh-musuh di barat. Salah satu konflik yang terkenal adalah
Pertempuran Vartanantz pada 451 M, saat
gajah perang Sassaniyah berhasil menakut-nakuti pasukan
Armenia. Contoh lainnya adalah
Pertempuran al-Qādisiyyah pada 636 M, saat tiga puluh tiga gajah perang dikerahkan oleh Kekaisaran Sassaniyah untuk melawan pasukan
Arab. Pasukan gajah Sassaniyah memegang keunggulan dibandingkan pasukan kavaleri Sassaniyah. Pasukan Sassaniyah memperoleh gajah dengan cara memasoknya dari
India. Pasukan gajah perang Sassaniyah dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut
Zend−hapet, atau "Komandan India", entah karena gajahnya memang didapat dari India atau karena gajah-gajah itu diurus oleh orang
Hindustan asli.
[32] Pasukan gajah Sassaniyah tidak pernah sekuat pasukan gajah India dan setelah Kekaisaran Sassaniyah runtuh, penggunaan gajah perang di daerah ini juga berhenti.
Di
Cina, penggunaan gajah perang agak jarang dibandingkan dengan di lokasi lainnya.
[33][34] Menurut catatan tertua yang pernah ditemukan, gajah perang digunakan pada 554 M, ketika Dinasti
Wei Barat mengerahkan dua ekor gajah berbaju perang dari
Lingnan ke medan tempur dengan dipandu oleh budak-budak
Melayu dan dilengkapi dengan menara kayu serta pedang yang diikatkan ke belalai mereka.
[33] Gajah-gajah itu berhasil dihalau oleh para pemanah.
[33]
Dinasti Han pada abad kedua SM berperang dengan kerajaan Yue dari Asia Tenggara yang menggunakan gajah perang. Taktik yang digunakan untuk menghalau gajah-gajah perang tersebut di antaranya adalah dengan menggunakan api dan panah
busur silang yang sangat banyak di samping menggali lubang dan parit yang diisi dengan tombak.
Di
Asia Tenggara, di sepanjang perbatasan
Vietnam modern, pasukan
Champa mengerahkan sampai 602 ekor gajah perang melawan
Dinasti Sui.
[35] Pasukan Sui mengalahkan gajah-gajah perang itu dengan membuat perangkap berupa lubang-lubang, selain itu mereka juga menggunakan banyak
busur silang.
[35]
Catatan sejarah
Sri Lanka mengindikasikan penggunaan gajah sebagai kendaraan yang dinaiki oleh raja ketika sedang memimpin pasukan dalam pertempuran,
[36] dan beberapa gajah tercatat dalam sejarah. Gajah
Kandula merupakan kendaraan raja
Dutugamunu, sedangkan
Maha Pambata, "Batu Besar", adalah kendaraan raja
Elara dalam pertempuran pada 200 SM.
[37]
[sunting] Abad Pertengahan
Sebuah lukisan bergaya Romawi yang menggambarkan gajah perang.
Spanyol, abad kesebelas Masehi.
Pada
Abad Pertengahan, gajah perang jarang digunakan di Eropa.
Karel yang Agung menggunakan gajahnya, yang bernama
Abul-Abbas, ketika dia berperang dengan pasukan
Denmark pada 804 Masehi.
[38] Prajurit
Perang Salib memberi kesempatan pada
Kaisar Romawi Suci Frederick II untuk menangkap gajah di
Tanah Suci. Gajah juga digunakan dalam penaklukan kota
Cremona pada 1214. Akan tetapi, pada masa ini penggunaan gajah dalam perang lebih bersifat simbolis ketimbang praktis.
Lebih jauh ke timur, gajah masih tetap digunakan dalam peperangan. Pasukan
Mongol berhadapan dengan gajah perang di
Khorazm,
Burma,
Vietnam dan
India pada abad ke-13 M.
[39] Meskipun mengalami kegagalan dalam invasi mereka ke
Vietnam, dan
India, pasukan Mongol berhasil mengalahkan gajah perang di luar
Samarkand dengan menggunakan
katapel dan
mangonel, sedangkan di Burma, pasukan Mongol menghujani gajah perang dengan
panah dari
busur campur mereka yang terkenal.
[40] Genghis Khan dan
Kublai Khan sama-sama mengambil gajah perang yang mereka tangkap untuk kemudian dimasukkan ke dalam pasukan Mongol.
[41] Satu abad kemudian, penakluk lainnya dari Asia Tengah,
Timur Lenk juga menghadapi pasukan gajah perang. Pada 1398, pasukan Timur berhadapan dengan lebih dari seratus ekor gajah India dalam suatu pertempuran. Gajah-gajah tersebut memicu ketakutan pada pasukan Timur dan hampir menyebabkan pasukannya kalah. Timur akhirnya bisa menang dengan menerapkan strategi khusus. Dia mengikatkan jerami yang terbakar di punggung pasukan untanya. Asapnya membuat unta-untanya berlari dan membuat gajah-gajah musuh ketakutan. Gajah-gajah itu pun mencoba kabur dan malah menginjak-injak pasukan mereka sendiri. Catatan sejarah lainnya menceritakan bahwa Timur menggunakan
galtrop berukuran besar untuk menghentikan pergerakan pasukan gajah musuh.
[42] Di kemudian hari, para pemimpin
Dinasti Timuriyah menggunakan gajah tangkapan untuk menghadapi pasukan
Kesultanan Utsmaniyah.
Raja Rajasinghe I mengerahkan pasukan gajah berjumlah 2.200 ekor gajah perang ketika dia mengepung benteng
Portugis di
Colombo,
Sri Lanka pada 1558.
[43] Rakyat Sri Lanka sendiri tetap meneruskan tradisi mereka dalam menangkap dan melatih gajah yang sudah dilakukan sejak masa kuno. Pejabat yang bertanggung jawab dalam hal penangkapan dan pengelolaan gajah disebut
Gajanayake Nilame,
[43] sedangkan pejabat yang disebut
Kuruve Lekham bertugas mengatur Kuruwe atau prajurit penunggang gajah.
[43] Sementara itu, pelatihan gajah perang merupakan tugas klan Kuruwe yang berada di bawah wewenang Muhandiram (pos administratif Sri Lanka) mereka sendiri.
[sunting] Asia Tenggara
Di
Asia Tenggara,
Kerajaan Khmer berhasil menjadi kekuatan yang disegani pada abad kesembilan Masehi terutama berkat penggunaan gajah perang. Militer Khmer menempatkan
busur-silang ganda di atas gajah perang mereka. Setelah jatuhnya kekuasaan Khmer pada abad kelima belas, kekuasaan penerusnya, yaitu
Burma (kini Myanmar) dan
Siam (kini
Thailand), juga mengadopsi penggunaan gajah dalam peperangan. Dalam banyak pertempuran, para pemimpin pasukan biasanya bertarung di atas gajah perang mereka. Salah satu pertempuran yang terkenal adalah ketika pasukan Burma menyerang
Kerajaan Ayutthaya di Siam. Puncak pertempuran tersebut terjadi ketika putra mahkota Burma,
Minchit Sra, dibunuh oleh raja Siam,
Naresuan, dalam pertarungan di atas gajah pada 1593.
Bangsa Cina secara umum sangat jarang menggunakan gajah perang. Salah satu pengecualian terjadi pada abad ke-10, ketika
Han Selatan menggunakan gajah ketika berperang. Karena itu Han Selatan disebut sebagai "satu-satunya bangsa di daratan Cina yang pernah menggunakan gajah sebagai bagian dari pasukan regulernya".
[33] Anomali ini terjadi karena adanya kedekatan geografis dan kultural antara Han Selatan dengan Asia Tenggara.
[33] Pejabat militer yang bertugas memimpin pasukan gajah disebut
Wakil Digitan dan Agitan Gajah Raksasa.[44] Setiap gajah membawa menara kecil yang bisa menampung sepuluh prajurit atau lebih.
[45] Selama beberapa waktu, gajah perang memainkan peranan penting dalam beberapa kemenangan Han Selatan, misalnya dalam invasi
Chu pada 948 M.
[45] Akan tetapi, pasukan gajah Han Selatan pada akhirnya dikalahkan secara telak di Shao pada 971 M. Ketika itu gajah perang Han Selatan diserang dengan
busur silang api oleh pasukan
Dinasti Song.
[45] Setelah itu, penggunaan gajah perang di Cina mulai dihentikan."
[45]
Gajah
Siam yang digunakan untuk mengangkut artileri ringan di
Laos pada 1893
Dengan munculnya
bubuk mesiu pada akhir abad ke-15, posisi gajah dalam perang pun mulai berubah.
Senapan lontak tidak terlalu berpengaruh pada gajah yang mampu menahan banyak tembakan.
[46] Namun, tembakan
meriam adalah sesuatu yang sangat berbeda. Seekor gajah dapat dengan mudah dirobohkan hanya dengan satu tembakan meriam. Dengan gajah yang masih digunakan untuk membawa komandan dalam pertempuran, mereka menjadi target yang menggiurkan bagi
artileri musuh.
Meskipun demikian, di Asia Tenggara, gajah perang masih terus digunakan sampai akhir abad kesembilan belas. Salah satu kesulitan utama di kawasan ini adalah keadaan medan geografisnya dan gajah bisa melewati daerah yang sulit dengan lebih mudah dibandingkan jika menggunakan kavaleri kuda. Tentara Siam memanfaatkan gajah perang yang dipersenjatai dengan
jingal sampai
Perang Perancis-Siam pada 1893, sedangkan
Vietnam menggunakan gajah perang sampai sekitar tahun 1885, ketika terjadi
Perang Sino-Perancis.
Memasuki abad dua puluh, gajah yang tak dilatih bertempur digunakan untuk tujuan militer sampai
Perang Dunia II,
[47] terutama karena hewan ini mampu berjalan di daerah-daerah yang sulit dilalui oleh kendaraan modern.
Bagi banyak pasukan di
negara-negara gagal, gajah kini lebih berharga untuk diambil
gadingnya daripada fungsinya sebagai kendaraan. Ribuan gajah mati dalam perang saudara karena
perburuan ilegal. Gajah digolongkan sebagai
hewan pikul dalam
manual lapangan Pasukan Khusus Amerika Serikat yang diterbitkan pada 2004, namun penggunaan gajah oleh personel Amerika Serikat tidak dianjurkan karena gajah merupakan
spesies yang terancam punah.
[48] Catatan terakhir mengenai penggunaan gajah dalam perang terjadi pada 1987 ketika
Irak diduga menggunakan gajah untuk mengangkut persenjataan berat untuk digunakan di
Kirkuk.
[sunting] Penggunaan taktis
Ada banyak tujuan mengapa gajah digunakan dalam perang. Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan. Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna.
[49] Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa
perlengkapan perang yang berat sebelum akhirnya mereka digantikan oleh kendaraan bermesin yang lebih modern.
Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30
km/jam (20
mil/jam). Tidak seperti
kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh
infantri. Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah, bahkan pasukan
Romawi pun, yang terkenal disiplin, sempat terkejut menghadapi pasukan gajah. Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar.
Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah. Sementara itu, kulit yang tebal memberi perlindungan bagi gajah, sedangkan tinggi dan berat gajah memberi perlindungan bagi pengendaranya. Banyak gajah perang yang dilengkapi baju perang untuk memberi perlindungan yang lebih baik. Posisi dari atas gajah memberikan pandangan yang luas, karena itu banyak jenderal yang menaiki gajah untuk memperoleh pandangan yang lebih luas pada medan pertempuran.
Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran, yang dari sana bisa melihat dan menyerang lebih banyak target. Panah terus berkembang menjadi senjata yang lebih maju dan beberapa raja
Khmer dan India menggunakan busur silang raksasa (mirip dengan
ballista) untuk meluncurkan tombak panjang untuk membunuh kavaleri dan gajah perang musuh. Pada akhir abad keenam belas Masehi,
kulverin dan
jingal juga digunakan pada gajah.
Gajah perang juga dilengkapi dengan persenjataan mereka sendiri. Di
Sri Lanka, rantai dengan bola besi diikatkan pada belalai gajah dan gajahnya juga dilatih untuk mengayunkan-ayunkan belalainya dengan keterampilan tertentu. Di berbagai tempat, dibuat bermacam-macam
baju perang untuk gajah dengan tujuan untuk melindungi badan dan kaki gajah, sementara belalainya dibiarkan bebas supaya lebih mudah menyerang musuh. Gajah perang juga dapat mengangkut menara kecil di punggungnya, yang disebut
rengga. Benda ini merupakan tempat bagi para prajurit di atas gajah dan bisa berfungsi pula sebagai perlindungan.
Pahatan yang menggambarkan gajah perang pada
Perang Anglo-Sikh Pertama, diterbitkan oleh
The Illustrated London News. Ketebalan kulit gajah melindunginya dari luka. Posisi pengendara di atas gajah memberikan pandangan yang luas namun ia adalah target yang kelihatan.
Dalam
Perang Punisia, tiap gajah perang mengangkut beberapa orang
pemanah serta beberapa prajurit yang membawa
sarisa (
tembiang sepanjang enam meter). Di daerah timur, gajah perang mengangkut banyak prajurit. Komandan senior berada di atas rengga, atau di atas leher gajah. Pengemudi gajah, yang disebut
mahout (
pawang gajah), bertugas untuk mengendalikan gajahnya. Dalam banyak pasukan, mahout membawa
pisau pahat dan
palu untuk memotong
sumsum tulang belakang gajah jika gajah tersebut mengamuk dan tak bisa dikendalikan.
Gajah perang juga memiliki kelemahan. Gajah memiliki kecenderungan tersendiri untuk panik. Jika memperoleh luka yang sangat menyakitkan atau jika pengendaranya mati, gajah akan mengamuk dan berlari tak terkendali
[49] serta bisa mengakibatkan kerugian pada kedua belah pihak yang sedang bertempur. Infantri Romawi yang berpengalaman kadang mencoba untuk memotong belalai gajah dengan tujuan membuat gajah tersebut panik dan berlari ke belakang barisan mereka sendiri.
Skirmisher cepat yang bersenjatakan lembing juga sering berusaha menghalau gajah, karena lembing dan senjata sejenisnya dapat membuat panik gajah. Gajah perang kadang tak terlindungi pada bagian samping, karena itu infantri Romawi yang menggunakan api atau barisan tembiang yang banyak, misalnya
Triarii, akan berusaha membuat gajah musuh memperlihatkan bagian sampingnya. Dengan begitu, gajah tersebut akan menjadi rentan terhadap tusukan tembiang atau lembing
skirmisher. Olahraga kavaleri
pancang tenda tumbuh dari rezim pelatihan bagi para penunggang kuda untuk melumpuhkan atau menghalau gajah perang.
[50] Salah satu metode terkenal untuk mengacaukan pasukan gajah perang adalah dengan menggunakan
babi perang. Para penulis kuno percaya bahwa "gajah takut pada suara lenguhan babi"
[51] dan kelemahan tersebut banyak dieksploitasi. Di
Megara, dalam
Perang Diadokhoi, misalnya, pasukan Megara menumpahkan minyak pada sekawanan babi, membakarnya, dan mengusirnya ke arah pasukan gajah musuh. Gajah-gajah musuh menjadi panik akibat didatangi oleh kawanan babi yang melenguh dan terbakar.
[52]
Nilai guna gajah perang berbeda-beda bagi daerah barat dan timur. Di barat, misalnya Romawi, militer lebih mengutamakan kedisplinan infantri dan kavaleri berkuda. Sementara di timur, gajah perang lebih banyak digunakan karena mereka mengandalkan rasa takut dan teror untuk mengalahkan musuh. Pada abad kesembilan belas, adalah muncul tren untuk membandingkan perbedaan tersebut.
[53] Salah satu sejarawan berkomentar bahwa gajah perang "telah terbukti mudah gugup dan gampang waswas pada suara-suara tak dikenal dan karena alasan inilah gajah perang rentan memecah barisan dan melarikan diri."
[54] Meskipun demikian, penggunaan gajah perang yang berlangsung selama ribuan tahun menunjukkan bahwa unit ini memang berguna dalam medan pertempuran.
Gajah digunakan oleh kavaleri
India [sunting] Warisan budaya
Penggunaan gajah perang selama berabad-abad telah meninggalkan warisan budaya di banyak tempat. Banyak permainan perang tradisional yang memasukkan gajah perang.
Chaturanga, permainan papan India kuno yang merupakan asal mula
catur, menyebut salah satu bidaknya dengan nama
Gaja, yang bermakna gajah dalam
bahasa Sanskerta. Penyebutan ini juga diserap oleh
bahasa Indonesia, yang menyebut bidak tersebut dengan nama
gajah. Begitu pula dalam bahasa-bahasa lainnya, misalnya
bahasa Arab (
al-fil) dan
bahasa Rusia (
Слон). Dalam permainan
Shogi dari
Jepang, pernah ada bidak yang disebut "
Gajah Mabuk", sebelum akhirnya dihapuskan atas perintah dari
Kaisar Go-Nara dan kini tidak lagi muncul dalam versi modernnya.
Baju perang gajah, yang pada awalnya digunakan untuk pertempuran, kini biasanya hanya ada di
museum. Satu set baju perang gajah India yang masih terawat dengan baik ada di
Royal Armouries Museum di
Leeds. Sementara itu, museum-museum di India juga menampilkan banyak baju perang gajah lainnya yang masih bagus. Arsitektur India juga menunjukkan adanya pengaruh yang besar dari penggunaan gajah dalam perang selama bertahun-tahun. Hiasan bertema gajah perang banyak menghiasi gerbang-gerbang militer, misalnya yang ada di
Benteng Lohagarh. Ada juga gerbang yang berduri dan anti-gajah, misalnya yang ada di benteng
Kumbhalgarh. Di seluruh penjuru India, gerbang-gerbang dari masa yang lebih kuno selalu jauh lebih tinggi daripada gerbang buatan Eropa. Gerbang-gerbang tersebut dibuat lebih tinggi supaya gajah dengan
rengga bisa lewat di bawahnya.
Gajah perang tetap menjadi topik yang populer dalam seni artistik, baik dalam lukisan-lukisan
Orientalis dari abad kesembilan belas maupun dalam sastra. Salah satu adaptasi paling terkenal mengenai gajah perang dalam fiksi dibuat oleh
Tolkien, yang memopulerkan penggambaran gajah perang yang fantastis dalam bentuk suatu hewan yang dia namai
oliphaunt atau mumakil.